Kelestarian Pariwisata Bali Tanggung Jawab Bersama
Tanpa pariwisata lestari dan berkualitas, Bali sebagai destinasi utama dan ikon nasional akan terancam.
Oleh
NGURAH SWAJAYA
·3 menit baca
Eksploitasi dan komersialisasi pariwisata di Bali mengabaikan keunikannya, potensial membahayakan dan merusak pesonanya, termasuk fungsinya sebagai etalase pariwisata Indonesia. Banyak destinasi populer Eropa dan Asia ditinggalkan karena masalah yang sama. Tantangan lainnya yang juga memerlukan penanganan segera adalah dampak perubahan iklim dan daya dukung infrastruktur yang tidak menunjang.
Pascapandemi Covid-19, kita mengenal revenge tourism, yaitu lonjakan kunjungan sebagai pelampiasan pembatasan saat pandemi selama 2 tahun. Bali juga mengalami fenomena ini, revenge (balas dendam)pelaku pariwisata manfaatkan semua peluang, mengabaikan tanggung jawab pelestarian. Komitmen yang disepakati di masa Covid-19 untuk menjadikan Bali sebagai destinasi ”wisata berkualitas”, bukan massal, murah, kumuh, dan merusak perlu ditindaklanjuti.
Revitalisasi kawasan wisata Sanur dengan mengembangan health tourism merupakan inisiatif yang memanfaatkan pariwisata dan pelayanan kesehatan berstandar internasional sebagai salah satu wujud. Gagasan mengembangkan potensi ekonomi yang dapat saling menunjang, seperti ekonomi digital dan kreatif berbasis teknologi, dapat menjadikan Bali sebagai ekosistem ekonomi pintar, yang sinergis dan sejalan dengan sektor pariwisata.
Laporan Channel News Asia (CNA) bertajuk ”Bali’s love-hate relationship on Indonesian Island of Paradise” dan tulisan pengamat pariwisata yang memprihatinkan memburuknya kualitas pariwisata Bali pascapandemi Covid-19 patut segera ditangani. Singapura, sebagai contoh, mengeluarkan ratusan juta dollar selama penutupan akibat pandemi dengan merenovasi gerbang utama kedatangan pariwisata dan meningkatkan sumber daya manusia.
Sementara alih-alih mengembangkan pariwisata berkualitas, Bali justru terancam semakin kumuh, semrawut, kotor, tidak aman. Tanpa pariwisata lestari dan berkualitas, Bali sebagai destinasi utama dan ikon nasional akan terancam.
Peranan masyarakat, pemerintah daerah dan pusat menjadi sangat penting. Inisiatif Bali Kerthi Sejahtera dan Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali menuju Bali Era Baru perlu direalisasikan secara konsisten dan konkret, bukan sekadar menjadi bahan presentasi.
Investasi dan perizinan yang tidak sesuai tata ruang berkontribusi kepada kesemrawutan tata ruang, demikian juga sikap dismisif masyarakat tidak menunjang kearifan lokal yang dicanangkan, seperti Nangun Sat Kerthi Loka Bali dan filsafat Hindu, Tri Hita Karana. Semua hal tersebut mengancam pariwisata Bali yang tangguh dan berkelanjutan serta poros strategis pariwisata Nusantara.
Momentum perbaikan masih terbuka, termasuk melalui proses revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang menekankan pada penguatan potensi daerah dan kontribusi anggaran pemerintah pusat terhadap pengembangan infrastruktur fisik dan sumber daya manusia. Kontribusi pariwisata tahun 2023 berkisar 3,8 persen dari PDB, sementara kontribusi pariwisata di Singapura 4 persen dan Swiss 5 persen.
Tanpa pariwisata lestari dan berkualitas, Bali sebagai destinasi utama dan ikon nasional akan terancam.
Potensi pengembangan masih sangat besar untuk dioptimalkan, termasuk dalam mengembangkan potensi daerah lain. Untuk itu, pelestarian wisata Bali merupakan tanggung jawab bersama.
Mudah-mudahan yang sedang terjadi di Bali sekadar fenomena sesaat akibat euforia pembukaan kembali sektor pariwisata. Kekayaan daya tarik terunik dunia Bali adalah alam, manusia, dan budaya yang tidak ada duanya di dunia. Pariwisata lestari di Bali harus tetap mengandalkan keunikan tersebut, termasuk meningkatkan nilai tambah ekonomi yang selaras dengan pariwisata lestari, hijau, tangguh, cerdas, dan sejahtera.
Kemacetan parah pada Desember 2023, kesemrawutan dan sampah akibat diabaikannya kearifan lokal oleh wisatawan dan pelaku usaha, pembangunan yang tidak tertata rapi dan tidak memiliki karakteristik budaya dan merusak keindahan alam dan jati diri sempat viral. Ini semua merupakan simtoma yang berbahaya dan harus segera ditangani.
Salah satu kearifan lokal dan pilar utama Bali Kerthi adalah lembaga masyarakat adat. Alih-alih melaksanakan fungsinya sebagai garda Bali lestari, banyak oknum lembaga ini justru merusak kewibawaan lembaga ini karena aktivitas ”pungutan liar” dengan alasan mencari sumber dana desa/adat.
”Pembiaran” berkembang liarnya kafe ”angkringan” jelas tidak mencerminkan karakteristik quality tourism, kecuali sekadar komersialisasi murahan lokasi-lokasi ekonomis yang mengabaikan keunikan Bali.
Strategi Bali Kerthi dan roadmap-nya perlu dilaksanakan konsisten dan konkret, sementara fungsi lembaga adat harus dipertahankan kewibawaannya sebagai garda pelestarian pariwisata Bali. Pariwisata massal, komersialisasi, dan eksploitasi berlebihan jelas bukan solusi, termasuk untuk menjadikan Bali sebagai etalase pariwisata Nusantara unggul.
Masalah-masalah klasik lain yang juga memerlukan penanganan segera, termasuk pengolahan sampah, pengelolaan sumber air, penanggulangan kemacetan, dan pengembangan pendidikan berkualitas, merupakan bagian dari langkah strategis melestarikan Bali bagi pariwisata Nusantara.
Transformasi Bali yang menekankan kepada strategi pintar, sehat, produktif, hijau, smart, terintegrasi, dan kondusif harus diwujudkan dan dikawal bersama, termasuk melalui revisi undang-undang kepariwisataan.
Strategi menggandengkan pariwisata dan ekonomi kreatif, khususnya ekonomi digital, kreativitas berbasis teknologi, akan melipatgandakan kontribusi pariwisata dan sektor terkait lainnya kepada PDB. Untuk memperkuat keunikan dan keunggulan Bali, skema khusus dari pemerintah pusat dan daerah, seperti kawasan ekonomi khusus, perlu dipertimbangkan, seperti kawasan wisata kesehatan Sanur.
Ngurah Swajaya, Diplomat Pemerhati Pariwisata di Eropa