Invasi Israel ke Rafah, Tembok Besar Gencatan Senjata di Gaza
Logika gencatan senjata di Gaza sama sekali tidak masuk nalar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan kabinetnya.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Setelah gugur tanpa buah saat Ramadhan, gencatan senjata di Gaza kembali menjadi perhatian. Hamas setuju gencatan senjata. Namun, Israel ingin berperang lebih lama.
Perkembangan situasi di Gaza berubah sangat cepat dan dinamis sejak Minggu (5/5/2025). Harapan menantikan gencatan senjata di Gaza serasa berada di atas roller coaster. Suatu saat harapan itu melambung, lalu terayun dan terbanting, naik lagi ke atas, diombang-ambing, kemudian terbanting lagi, dan—seperti cerita yang kerap berulang—tidak ada kejelasan.
Hari Senin (6/5/2024), kelompok Hamas mengumumkan menyetujui gencatan senjata yang ditawarkan Qatar dan Mesir, dua mediator perundingan Hamas-Israel. Seperti diberitakan, gencatan senjata yang ditawarkan berlangsung tiga tahap.
Tahap pertama, selama 42 hari, ditandai pembebasan 33 sandera Israel—yang masih hidup atau meninggal—untuk ditukar dengan tahanan Palestina di Israel. Di tahap ini, sebagian pasukan Israel ditarik dari Jalur Gaza.
Di tahap kedua, para pihak akan bernegosiasi lagi, diikuti pembebasan sandera yang tersisa dan penarikan pasukan Israel dari seluruh wilayah Gaza. Di tahap ketiga, pertukaran jenazah sandera dan dimulainya rekonstruksi Gaza yang diperkirakan butuh waktu tiga hingga lima tahun (Kompas.id, 7/5/2024).
Tak hanya menyatakan proposal gencatan senjata itu tidak memenuhi tuntutan utamanya, hanya berselang beberapa jam, Israel juga mengirimkan tank-tanknya dan menggempur Rafah serta menguasai pintu perbatasan dengan Mesir. Perbatasan itu pun ditutup. Tidak ada lagi pintu masuk untuk penyaluran bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza.
Sementara di Gaza bencana kemanusiaan dipastikan bakal semakin parah, upaya negosiasi tidak langsung antara Hamas dan Israel terus bergulir di Kairo, Mesir. Seberapa besar peluang negosiasi kali ini membuahkan kesepakatan gencatan senjata, segalanya serba tidak pasti.
Jurang perbedaan tuntutan Hamas dan Israel masih terlalu lebar. Hamas, misalnya, menginginkan gencatan senjata permanen, Israel hanya ingin jeda tempur sementara. Hamas menuntut pasukan Israel mundur dari Gaza, Israel ingin tetap mengontrol wilayah enklave itu.
Poin-poin tersebut, antara lain, akan dirundingkan delegasi Hamas dan Israel di Kairo melalui perantara Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat. Andai perundingan itu gagal lagi, Israel bakal memperluas gempuran ke Rafah, lokasi pengungsian bagi 1,4 juta warga Gaza, sekaligus menenggelamkan Gaza dalam bencana kelaparan, seperti yang dikhawatirkan selama ini.
Senin (6/5/2024) lalu, Israel telah mengultimatum 100.000 warga Gaza agar mengungsi dari Rafah. Sebagian dari warga sudah lebih dari sekali atau dua kali berpindah tempat pengungsian di Gaza. Bahkan, ada yang sudah empat kali pindah. ”Hanya Tuhan yang tahu ke mana kami akan melangkah,” ujar Abdullah al-Najar, salah satu warga Gaza, kepada Reuters.
Seperti kata Najar, mungkin juga hanya Tuhan yang tahu, kapan gencatan senjata akan terwujud di Gaza.