Fenomena Depresi di PPDS, Fakta atau Fatamorgana?
Keterampilan mengelola emosi–pikiran–perilaku sangat dibutuhkan agar tangguh dan cakap jika mengalami tekanan hidup.
Survei Kementerian Kesehatan di beberapa RSV Indonesia pada Maret 2024 mendapatkan 22,4 persen mahasiswa program pendidikan dokter spesialis atau PPDS, baik strata 1 maupun 2, mengalami gejala depresi.
Apa ini berarti mereka yang terjaring melalui skrining Maret 2024 benar-benar mengalami gangguan depresi? Jika menilik pelaksanaan survei yang kebetulan dilakukan pada pertengahan bulan puasa, ada banyak faktor yang bisa berperan sebagai pemicu terjadinya gejala depresi.
Gangguan depresi biasanya disebabkan oleh interaksi faktor bio-psiko-sosial, seperti kondisi otak dan fisik, ketahanan mental (resiliensi dan coping mechanism), serta situasi sosial tertentu (distress).
Sebenarnya angka gejala depresi pada PPDS di Indonesia masih di bawah tingkat depresi PPDS di luar negeri, yakni 29 persen (Journal of American Medical Association 2024). Namun, sebagaimana dikatakan Menkes, fenomena gejala depresi di PPDS ini perlu diperhatikan dan diupayakan solusinya oleh penyelenggara pendidikan agar tidak berlarut-larut dan menjadi kendala dalam proses pendidikan calon dokter spesialis.
Baca juga: Paradoks Icarus Pendidikan Dokter Spesialis Indonesia
Gejala dan gangguan depresi
Gangguan depresi merupakan gangguan kondisi mental berupa penurunan suasana hati/alam perasaan (mood) seseorang yang terjadi hampir setiap hari, selama minimal dua minggu, dan hal ini mengakibatkan gangguan dalam fungsi pekerjaan/sosial.
Mood depresi ini terjadi di luar kemauan individu tersebut, tetapi mendominasi perasaan ataupun pikirannya sehingga ia tidak bisa lagi merasa senang untuk hal-hal yang sebelumnya bisa ia nikmati.
Pikiran orang yang sedang depresi cenderung pesimistis, putus asa, merasa bersalah, bahkan sering terlintas ide lebih baik mati saja daripada hidup, tetapi menderita. Perilaku yang tampak umumnya adalah berdiam diri, murung, melamun, atau mudah marah dan tersinggung.
Gejala gangguan depresi lainnya adalah insomnia, cemas, hilang nafsu makan, hilang inisiatif, banyak keluhan.
Jadi, seseorang yang mengalami gejala depresi yang menetap (lebih dari dua minggu) sehingga ia merasa tertekan dan menderita karena fungsi sosial pekerjaannya terganggu dapat dikatakan telah mengalami gangguan depresi, sesuai kriteria diagnosis Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)/International Classification of Diseases (ICD. Gejala (simtom) depresi adalah komponen dari gangguan depresi (depression disorder).
Siapa bisa mengalami?
Semua orang, baik anak-remaja, dewasa muda, maupun tua dan usia lanjut, berpotensi mengalami gangguan depresi, tak terkecuali seorang PPDS yang harus belajar sambil bekerja di rumah sakit. Dokter residen (PPDS) mempunyai risiko lebih tinggi untuk menjadi depresi, mengalami ansietas (anxiety) dan burnout dibandingkan dengan orang sebaya yang bekerja di bidang lain (Lisa M Meeks dkk, 2019).
Dalam tiga tahun terakhir, kondisi pascapandemi Covid-19 juga berdampak terhadap kehidupan dokter residen yang harus tetap bekerja walau takut tertular/menularkan infeksi, sementara situasi psikososial terus berubah-ubah.
Semua faktor bio-psiko-sosial berperan dalam timbulnya gangguan depresi dengan komposisi yang berbeda. Kerentanan biologik, ketahanan mental, dan kemampuan adaptasi seseorang saat berhadapan dengan stressor kehidupan berperan penting pada kejadian gangguan depresi.
Gejala depresi bisa merupakan manifestasi dari berbagai gangguan mental yang sudah ada sebelumnya (bipolar, distimik, neurotik, dan lain-lain) atau merupakan reaksi terhadap situasi stres baru (akut), yaitu gangguan penyesuaian dengan reaksi depresi.
Gangguan depresi dapat ditata laksana dengan baik oleh psikiater, baik nonfarmakologis maupun farmakologis, bilamana ada dukungan dari lingkungan keluarga dan lingkungan kerja.
Psikoterapi adalah terapi psikologis melalui wicara/sikap berupa interaksi antara dokter (terapis) dengan pasien yang intensif dan profesional berdasarkan metode standar.
Pikiran orang yang sedang depresi cenderung pesimistis, putus asa, merasa bersalah, bahkan sering terlintas ide lebih baik mati saja daripada hidup, tetapi menderita.
Ada beberapa jenis psikoterapi, yaitu suportif, dinamik, re-edukatif (terapi cognitive behavior dan terapi dialetika perilaku), dan lain-lain. Selain psikoterapi, farmakoterapi (obat) juga perlu diberikan jika gejala depresi cukup berat.
Obat antidepresi biasanya diminum berkisar 6-12 bulan atau lebih lama. Terapi lainnya adalah aktivitas yang diprogram agar orang dengan depresi bisa merasa lebih berdaya, lebih mampu melakukan sesuatu walaupun belum sepenuhnya kembali ke fungsi sosial pekerjaan sebelumnya.
Pencegahan
Program pencegahan depresi (PPD) di Indonesia perlu disegerakan, baik untuk usia muda maupun tua. Hidup di masa kini yang penuh tantangan stres dan perubahan cepat teknologi industri bisa menjadi sumber distress apabila individu kurang mampu beradaptasi, apalagi jika telah memiliki kerentanan biologik tertentu.
PPDS pada masa studi tentu punya banyak tantangan hidup yang bisa menjadi sumber stres, seperti soal pertemanan, keluarga, dan finansial. Keterampilan mengelola emosi–pikiran–perilaku sangat dibutuhkan agar tangguh dan cakap jika mengalami tekanan hidup. Program konseling ataupun terapi psikologik lain sudah ada di RS pendidikan, tetapi mungkin kurang termanfaatkan karena sibuk bekerja atau malu (takut distigma) jika minta pertolongan.
Baca juga: Memahami Fenomena Depresi di Kalangan Peserta Pendidikan Dokter Spesialis
Komplikasi depresi yang lebih berat seperti isolasi diri, percobaan bunuh diri, dan sakit fisik berkepanjangan bisa dihindarkan jika intervensi bisa dilakukan lebih dini.
PPD bisa dimulai sejak masa kanak-kanak, bahkan semasih janin di kandungan, lewat pendekatan siklus hidup yang dicanangkan Kemenkes dalam mengupayakan kesehatan fisik dan mental bagi masyarakat Indonesia, termasuk para dokter calon spesialis.
Martina WS Nasrun, Psikiater, Pengajar FKUI-RSCM