Posisi Ukraina yang terus terdesak akibat kekurangan pasukan dan persenjataan menyebabkan negara-negara Eropa tak sabar.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Konflik militer di Ukraina yang tak kunjung berakhir menyebabkan ancaman penggunaan senjata nuklir yang kian kuat. Semua pihak yang terlibat tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan militer untuk mencapai tujuan.
Rusia beberapa hari lalu mengumumkan persiapan latihan senjata nuklir taktis atau tactical nuclear weapons (tac nukes). Latihan itu digelar sebagai respons Moskwa terhadap sikap Perancis yang tidak menutup kemungkinan untuk mengirim pasukannya ke Ukraina guna membantu Kyiv. Inggris juga mempersilakan Ukraina untuk memanfaatkan persenjataan yang diberikan oleh London untuk menyerang sasaran di wilayah Rusia.
Sikap kedua negara Barat yang juga anggota pakta pertahanan NATO itu, bagi Rusia, merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan tak tertulis selama ini. Sejak Rusia menggelar ”operasi militer” atau serangan ke wilayah Ukraina pada 22 Februari 2022, dukungan negara-negara Barat atau anggota NATO dilakukan secara tak langsung. Sebagai contoh, beberapa anggota NATO melatih tentara Ukraina agar berkinerja lebih baik dalam melawan pasukan Rusia atau lebih terampil dalam menggunakan persenjataan bantuan Barat. Sejauh ini belum ada pasukan militer dari negara Eropa yang berperang langsung melawan Rusia di Ukraina. Selain itu, roket atau artileri yang diberikan kepada Ukraina selama ini diingatkan oleh pemberi bantuan untuk tidak dipakai menyerang teritorial Rusia.
Akan tetapi, posisi Ukraina yang terus terdesak akibat kekurangan pasukan dan persenjataan menyebabkan negara-negara Eropa, seperti Perancis serta Inggris, tidak sabar, apalagi bantuan dari AS tak kunjung datang. Muncullah pernyataan dari Presiden Perancis Emmanuel Macron serta Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron. Perancis menyatakan tak menutup kemungkinan mengirim tentara, sedangkan Inggris mengizinkan senjatanya dipakai untuk menyerang wilayah Rusia.
Moskwa bereaksi keras dengan menggelar latihan kesiapan militernya mengerahkan persenjataan nuklir taktis. Sinyal ini menunjukkan bahwa Presiden Vladimir Putin tak segan untuk memakai senjata tersebut jika Barat terlibat terlalu jauh dalam membantu Ukraina.
Dari sisi skala kehancuran, dampak kerusakan yang ditimbulkan tac nukes jauh lebih kecil dibandingkan dengan senjata nuklir strategik (strategic nuclear weapons). Dalam benak kita kebanyakan terbayang dampak kehancuran senjata nuklir strategik yang minimal menghancurkan satu kota, seperti penggunaan bom nuklir menjelang akhir Perang Dunia II di Hiroshima serta Nagasaki.
Sebaliknya, senjata nuklir taktis dipakai untuk keperluan perang di medan laga. Dengan kata lain, senjata nuklir taktis dipakai untuk keperluan memenangi pertempuran di lapangan, bukan untuk meluluhlantakkan satu atau beberapa kota sehingga musuh terpaksa menyerah kalah tanpa syarat.
Meski demikian, penggunaan senjata nuklir taktis diperkirakan tetap berdampak merugikan jangka panjang. Radioaktif yang ditimbulkan akan menyebabkan sebagian besar wilayah yang menjadi sasaran tembak rusak. Tanahnya mengandung racun dan tak bisa diolah serta dihuni. Hal yang paling dicemaskan, penggunaan senjata nuklir taktis bukan tak mungkin mendorong balasan dengan menggunakan jenis senjata yang sama. Maka, kita mungkin tinggal menunggu waktu penggunaan senjata nuklir strategik.
Mungkinkah Putin mengerahkan senjata nuklir taktis? Christopher S Chivvis, senior fellow di Carnegie Endowment for International Peace serta pejabat intelijen AS di Eropa 2018-2021, dalam ”The World Must Reject Russia’s nuclear Posturing – but Not Ignore the Danger” (theguardian.com), mengingatkan bahwa Putin bisa melakukan apa pun. Hampir tak ada pihak yang sebelumnya mengira ia akan menggelar operasi militer di Crimea pada 2014 serta Ukraina pada 2022. Akan tetapi, kedua hal itu ternyata dilakukannya. Jadi, penggunaan senjata nuklir taktis bukan sesuatu hal yang mustahil.
Dalam situasi tersebut, penting kiranya pihak-pihak yang terkait dalam konflik di Ukraina, yakni Rusia, Ukraina, dan anggota NATO, terutama negara Eropa Barat serta Amerika Serikat, mengupayakan pendekatan damai dan negosiasi untuk mengakhiri perang. Pertempuran yang berkelanjutan memaksa logika kekuatan bersenjata dipakai terus-menerus. Apabila senjata konvensional gagal, mengapa tak mencoba senjata nuklir? Guna mencegah kondisi memburuk yang berdampak pula pada perekonomian dunia, pihak-pihak yang terkait itu harus menggunakan pendekatan lain, yakni pendekatan damai melalui negosiasi yang tak berujung pada penggunaan senjata nuklir.