Ursinus Medellu, Teladan Jenderal Polisi yang Hidup Sederhana
Warisan disiplin, kejujuran, dan nama baik adalah harta berharga yang diwariskan Medellu bagi anak dan cucunya.
Menjadi seorang pejabat tinggi identik dengan berbagai fasilitas dan hidup dalam kemewahan. Tidak demikian dengan Irjen (Purn) Ursinus Medellu yang hidup sangat sederhana meski mewariskan aset triliunan rupiah bagi lembaga Polri dan mendatangkan pemasukan bagi negara dari penerbitan BPKB sejak tahun 1960-sekarang.
Irjen Ursinus Medellu, putra asli Sangihe, adalah pejabat yang meninggalkan berbagai aset bagi Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dan Mabes Polri sejak berdinas sebagai pejabat lalu lintas tahun 1966-1972. Dia mengakhiri karier sebagai Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Sumatera Utara dalam pengabdian tahun 1972-1975.
Ursinus Medellu mengambil inisiatif membuat buku pemilikan kendaraan bermotor (BPKB) yang kemudian dapat dijadikan jaminan perbankan sehingga membantu masyarakat mendirikan berbagai Pos Polisi Lalu Lintas dari Anyer-Panarukan, Jakarta-Bogor-Puncak-Bandung yang kini sebagian besar berkembang menjadi polsek-polsek yang nilai aset tanahnya triliunan rupiah.
Pendataan kendaraan bermotor itu juga memudahkan polisi dalam melacak tindak kejahatan dari pencurian kendaraan, perampokan, hingga kasus terorisme. Semisal kasus Bom Bali yang diungkap melalui pelacakan identitas kendaraan yang dipakai membawa bom di depan Paddy’s Café di Pantai Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002.
Demikian pula data mobil yang dipakai dalam pengeboman di depan Kedutaan Besar Australia tanggal 9 September 2004. Seminggu kemudian, identitas pelaku terungkap melalui pelacakan data BPKB kendaraan pengangkut bom.
Medellu Bapak BPKB
Asal-muasal keberadaan BPKB di Indonesia lahir dari tangan Ursinus Medellu yang sejak 1965 menjadi Direktur Lalu Lintas di Markas Besar Angkatan Kepolisian (MABAK) atau sekarang dikenal sebagai Mabes Polri. Kelahiran BPKB diawali dengan maraknya pencurian kendaraan bermotor pada tahun 1960-an.
Polisi kesulitan menelusuri identitas kendaraan karena mereka hanya mengeluarkan STNK yang berlaku lima tahun. Selepas itu, penelusuran identitas kendaraan menjadi gelap. Mayoritas kendaraan yang beredar di Indonesia berusia di atas lima tahun.
Ditambah, pengelolaan registrasi kendaraan dilakukan oleh Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) di bawah Kementerian Perhubungan yang pendataannya tidak menyeluruh berupa surat hak milik kendaraan bermotor.
Surat itu dikeluarkan berdasarkan informasi dari Departemen Kehakiman, yakni Kantor Pemulihan Hak (Kantoor van Het Rechtsverstel). Setelah masa penjajahan Jepang (1942-1945), banyak kendaraan yang disita tentara Jepang tidak jelas kepemilikannya.
Ketika Belanda kembali tahun 1945 hingga tahun 1949, dibentuk Kantor Pemulihan Hak untuk mendata ulang kepemilikan kendaraan bermotor. Lalu DLLAJR mengeluarkan surat hak milik kendaraan. Namun, sistem administrasi yang ada masih berantakan dan pengelolaan dilakukan secara semrawut.
Ursinus Medellu yang berunding dengan Direktur LLAJR Yunus Pohan mendapat banyak masukan. Bahkan, Pohan mengakui surat hak milik kendaraan yang dikeluarkan DLLAJR tidak beres administrasinya karena data kendaraan tidak dicatat dengan rinci sejak awal.
Akhirnya, pada tahun 1967, Yunus Pohan meminta agar surat hak milik kendaraan dihapus saja. Medellu segera menyambut dan menyiapkan proposal dan rencana buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB). Setelah dirumuskan oleh tim, proposal BPKB disampaikan kepada Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) yang kini setara Kapolri, yakni Jenderal Soetjipto Joedodihardjo dan sekaligus permintaan dana Rp 34 juta untuk proyek nasional tersebut.
Melalui Wakil Pangak Hoegeng Iman Santoso, proyek tersebut disetujui. Akan tetapi, Polri tidak memiliki dana. Diajukan permintaan dana ke Kementerian Keuangan.
Medellu bersama stafnya, yakni AKBP Soedjono, mengajukan proposal tersebut ke Kementerian Keuangan yang diterima Sekjen Kemenkeu Mayjen TNI Soedrajat. Proposal disetujui dan mereka diminta mengajukan ke Bank Indonesia.
Mereka diterima Drs Djokosoedomo, pejabat yang menangani pinjaman instansi pemerintah. Menurut dia, BPKB dapat dijadikan jaminan kredit perbankan (fiduciaire eigendomsoverdracht).
Pihak BI menegaskan, pinjaman Rp 34 juta tersebut harus dikembalikan dalam waktu satu tahun dengan bunga 12 persen atau 1 persen setiap bulan.
Medellu sempat khawatir bagaimana melunasi pinjaman tersebut. Pihak BI membesarkan hatinya dan mengatakan, biaya pembuatan BPKB dapat menutup pengeluaran untuk proyek nasional tersebut.
Setelah itu, dengan Surat Keputusan (SK) Pangak No Pol 8/SK/Pangak/1968 tanggal 29 Januari 1968, dimulai Februari 1968 diterbitkan surat BPKB sebagai syarat mutlak mendapatkan STNK.
Mula-mula aturan diberlakukan di Jawa dan Bali. Besaran biaya Rp 500 untuk mobil dan Rp 300 untuk sepeda motor. Semua dibayarkan ke Direktorat Lalu Lintas Polri. Waktu itu 1 dollar AS senilai Rp 29,5 atau biaya BPKB setara 17 diollar AS untuk mobil dan 10 dollar AS untuk sepeda motor. Pendapatan per kapita penduduk Republik Indonesia tahun 1969 adalah 70 dollar AS.
Pada tahun 1967-1968 mulai terjadi stabilisasi ekonomi-politik di masa awal rezim Orde Baru. Lalu pada 1969 dimulai Pembangunan Lima Tahun (Pelita), program yang mirip dengan proyek pembangunan negara-negara Blok Timur (Uni Soviet, RRC, dan lain-lain) kala itu.
Tak disangka, proyek BPKB berlangsung mulus. Setoran uang BPKB ke Bank BNI pada bulan pertama mencapai Rp 10 juta, dan pada bulan kedua Rp 20 juta. Padahal, pinjaman total Rp 34 juta yang diberi jangka waktu setahun. Dalam tiga bulan, biaya proyek sudah tertutup dan selanjutnya didapat pemasukan bagi negara yang sebagian besar digunakan untuk memperbaiki layanan kepolisian, terutama di sektor Polisi Lalu Lintas.
Dari uang pendapatan BPKB berhasil dibangun Gedung Mabak II, yakni lahan tiga hektar yang menjadi Markas Korlantas Polri di Jalan MT Haryono, daerah segitiga emas Jakarta yang nilainya juga triliunan rupiah. Dalam biografi Ursinus Medellu, Bhayangkara Pejuang Melawan Penjajah dan Arus Korupsi karya Agnes Samsoeri, A Margana, dan Sri Rastiti Merdekawati dituliskan, selanjutnya, berbagai pom bensin, rumah peristirahatan, bisnis kebun sayur, dan berbagai unit usaha dikembangkan Medellu bagi kesejahteraan personel Polri, terutama Polisi Lalu Lintas. Dengan kesejahteraan, dia meyakini polisi akan fokus pada tugasnya dan melayani masyarakat sebaik mungkin.
Pernah satu kali dalam perjalanan dari Jakarta-Sukabumi, Ursinus Medellu yang kemalaman beristirahat di dalam mobil patroli polisi di dekat pertigaan Ciawi-Sukabumi-Puncak (sekarang simpang Tol Ciawi). Medellu tidur nyenyak di bangku depan dan membuka sedikit jendela untuk sirkulasi udara. Ketika bangun tidur, dia kaget, di dalam mobil penuh uang. Ternyata uang itu adalah setoran dari para sopir truk, bus, dan calo kepada Polantas yang biasa mangkal di Ciawi,
Dia pun murka dan memarahi para polisi yang bertugas di sana. Ursinus Medellu sangat antidengan ungkapan ”prit jigo”, atau uang damai bagi polantas dari pelanggar lalu lintas. Demi itu pula dia memperkenalkan kebijakan tilang kepada pelanggar lalu lintas. Penerapan tilang juga memberikan insentif bagi para Polantas yang menindak pelanggar lalu lintas.
Ursinus Medellu sangat anti dengan ungkapan ’prit jigo’, atau uang damai bagi polantas dari pelanggar lalu lintas.
Dia juga membangun beberapa pompa bensin yang keuntungannya disisihkan untuk biaya mobil-mobil patroli Polisi Jalan Raya (PJR). Ilmu tata kelola lalu lintas diperolehnya ketika menempuh pendidikan di North Western University di Chicago, Amerika Serikat, tahun 1962-1963. Sebelumnya dia menyelesaikan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta medio tahun 1950-an.
Salah satu karya Medellu di bidang lalu lintas adalah pemberian pelat nomor dan urutan nomor corps diplomatic (CD) dan corps consul (CC) di Indonesia. Semula ada usulan untuk menampilkan gambar bendera di pelat nomor, tetapi ditolak oleh Medellu.
”Tetangga” Ferdy Sambo
Meski meninggalkan aset bernilai puluhan, bahkan mungkin ratusan triliun rupiah—menurut anak-anak Medellu belum pernah terdengar soal audit peninggalan Ursinus Medellu bagi Korlantas Polri dan Mabes Polri—dia membuat sistem yang menyumbang keuangan negara dari penerbitan, pendataan BPKB, dan juga surat tanda nomor kendaraan (STNK). Irjen (Pol) Ursinus Medellu hidup sepanjang hayat secara sederhana. Terakhir dia hidup di sebuah rumah kecil di dalam gang di Jalan Otista III yang merupakan bekas Mess Korlantas Polri yang dibelinya dengan cara mencicil setiap bulan.
Sebelumnya, Ursinus Medellu pernah tinggal di Kompleks Polri di Duren III. Imannuel Medellu, satu dari enam putranya, mengatakan, rumah dinas ayah mereka di Duren Tiga hanya terpaut tiga rumah dari rumah yang ditempati Irjen Ferdy Sambo saat kasus pembunuhan terhadap Brigadir Josua Hutabarat terjadi.
Rumah tempat tinggalnya, saat penulis berkunjung, masih seperti di tahun 1980-an. Kamar mandi dengan bak mandi kotak dengan porselen sederhana gaya bangunan tahun 1970-an masih sama seperti ketika Ursinus Medellu tinggal di sana. Bahkan, perabot rumah tahun 1970-an pun tidak diganti oleh Medellu selama puluhan tahun tinggal.
Hidupnya merasa berkecukupan dan kerap mengucap syukur. Anak-anaknya pun kini hidup berkecukupan. Menurut Christian Elias Medellu, berkat terbesar dari integritas ayahnya adalah mereka bersaudara hingga hari ini tidak ada yang sakit-sakitan atau pernah sakit parah hingga harus dioperasi di rumah sakit. Karier mereka juga berkembang, juga masih ada rezeki lain, yakni peninggalan tanah dari keluarga besar ibu mereka di Manado, Sulawesi Utara, yang bisa menjadi bekal hidup.
Sementara fasilitas dari zaman kedinasan, seperti tawaran untuk menjadi agen radio komunikasi Motorolla, dan berbagai perlengkapan yang digunakan polisi lalu lintas, tidak ada satu pun yang diambil Ursinus Medellu.
Dia juga menjadi orang pertama yang mendatangkan 30 mobil patroli Polantas merek Volvo dari Swedia. Sebelumnya, Medellu sempat mencoba Porsche buatan Jerman untuk penjajakan sebagai mobil patroli jalan raya. Setelah kedatangan sedan Volvo seri 144, sedan buatan Swedia itu menjadi populer di Indonesia di kalangan pejabat dan pengusaha serta dikenal karena faktor keselamatannya.
Motor patroli Harley Davidson juga didatangkan Ursinus Medellu bagi Polisi Lalu Lintas. Tidak satu sen pun komisi dan embel-embel diambil Ursinus Medellu. Ketika ditanya, dia mengatakan hanya menjalankan tugas dan uang–uang pelican itu bukan hak dirinya.
Bahkan, ketika terjun di dunia bisnis tahun 1970-an dan 1980-an seusai pensiun tahun 1975, dia memilih keluar dari bisnis daripada mengambil tambahan (lebih bayar) dari proyek pemerintah sebesar beberapa juta dollar Amerika Serikat!
Padahal, waktu itu situasi memungkinkan dan Ursinus Medellu tinggal mengeluarkan tagihan dimaksud dengan angka tambahan beberapa juta dollar AS tersebut.
Disiplin dan integritas
Bicara soal disiplin, anak–anak Medellu tidak ada yang menjadi polisi. Menurut mereka, sepanjang hidup mereka, sejak kecil hingga remaja, mereka diperlakukan Ursinus Medellu dengan disiplin ketat seperti polisi.
Medellu dikaruniai delapan anak dari dua kali pernikahan. Anak sulung, yakni Yohima Lamberta (Ima) dan Siti Suhaeran (Ade), lalu anak-anak lelaki Elias Christian Medellu, Imanuel Medellu, Daniel Medellu, Joel Medellu, Joshua Medellu, dan Yesaya Abraham Medellu. Semua anak-anak dan cucu Medellu masih berkumpul akrab di rumah kecil di Jalan Otista IIIA.
Warisan disiplin, kejujuran, dan nama baik adalah harta berharga yang diwariskan Medellu bagi anak dan cucunya.
Pada suatu kesempatan, putri pertama sekaligus anak sulung Medellu, Yohima Lambretta alias Ima sedang berjalan kaki pulang sekolah berteduh karena hujan. Dia melihat ayahnya, yang Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, menggunakan jas hujan, mengatur lalu lintas di bawah guyuran hujan deras. Mobil patrolinya diparkir tidak jauh dari lokasi dia bertugas.
Ketika itu jumlah polantas masih terbatas. Ima dengan kagum melihat ayahnya melayani masyarakat dengan mengatur lalu lintas. Dia berpikir, setelah usai hujan, dia akan pulang nebeng mobil ayahnya. Ayahnya mendapati putrinya usai hujan reda. Alih-alih diantar pulang dengan mobil dinas polisi, ayahnya menyuruh Ima pulang sendiri karena mobil dinas tidak boleh dipakai untuk kepentingan pribadi.
Soal kejujuran dan integritas, Medellu tidak bisa ditawar-tawar. Ima mengalami, ketika lulus SMA, dia lulus pendaftaran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Ursinus Medellu mengatakan, dengan gaji polisi, dia tidak bisa membiayai dan meminta Ima memikirkan lima adiknya yang masih kecil–kecil.
Akhirnya Ima berkorban masuk Akademi Sekretaris Tarakanita dengan perhitungan bisa langsung kerja setelah lulus sekolah dalam waktu singkat. Ima yang muslimah sangat akrab dengan adik–adiknya yang lelaki. Bahkan, dalam acara Natal keluarga besar Medellu, Ima yang menjadi ketua panitia.
Kembali ke masa menjabat di Polri, ketika Ursinus Medellu menjabat sebagai Kapolda Sumatera Utara. Dia memperbaiki kompleks Polisi di Kota Medan di Jalan Durian. Kompleks yang dihuni 500 jiwa itu dikepung gunungan sampah, saluran drainase mampet, bahkan anak kecil buang air besar sembarangan di depan rumah!
Suatu ketika Ima curhat kepada ayahnya, bertanya, teman–temannya sesama anak jenderal sudah disediakan perusahaan oleh orangtuanya sebagai bekal selepas kuliah. Ursinus Medellu mengatakan, hal seperti itu tidak ada di kamusnya....
Christian Elias Medellu, Imannuel, Medellu, Joel Medellu, secara akur mengatakan, anak–anak utama ayah mereka adalah para Polisi Lalu Lintas. Setelah itu, barulah anak–anak kandung Medellu yang mendapat perhatian orangtua.
”Jangankan punya mobil pribadi. Zaman itu, ayah kami pejabat tinggi, punya sepeda motor pun boro–boro kami ada,” kata Elias yang dibenarkan saudara–saudaranya.
Daniel Medellu menambahkan cerita, adik mereka yang mendaftar masuk Akademi Kepolisian pun tidak mendapat katebeletje dari ayah mereka yang jenderal bintang dua. Walhasil, adik mereka yang tidak lulus seleksi Akademi Kepolisian urung jadi polisi.
Medellu adalah satu dari sekian banyak generasi 45 yang meninggalkan hidup penuh warna bagi generasi saat ini. Pria yang ikut berjuang bersama Lasykar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) selama Perang Kemerdekaan RI terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogjakarta, kemudian memilih turun pangkat menjadi letnan dua polisi setelah menyandang pangkat Kapten TNI. Ursinus Medellu terlibat dalam pencetakan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), salah satu alat perjuangan Indonesia di bidang moneter.
Adik mereka yang mendaftar masuk Akademi Kepolisian pun tidak mendapat ’katebeletje’ dari ayah mereka yang jenderal bintang dua. Walhasil, adik mereka yang tidak lulus seleksi Akademi Kepolisian urung jadi polisi.
Kemudian, dia mengabdi dalam berbagai penugasan, termasuk penumpasan pemberontakan Permesta tahun 1958 dan menjadi Pelaksana Kuasa Perang (Pekuper) di wilayah perbatasan Sangihe Talaud sebagai perwira TNI dengan pangkat titular.
Kenangan terhadap Medellu, yang dialami penulis di tahun 1980-an, adalah aktivitas keagamaan yang dilakukan Medellu di kalangan pebisnis Kristiani (Full Gospel Bussiness Men’s Fellowship International/FGBMFI) yang dipimpinnya hingga tahun 1990-an.
Wartawati senior Agnes Samsoeri (alm) yang juga ikut menulis biografi Inspektur Jenderal Ursinus Medellu 1922-2011, Bhayangkara Pejuang Melawan Penjajah dan Arus Korupsi, mengatakan, beliau dikenang karena kejujuran dan pelayanan rohani bagi Tuhan dan sesama.
Medellu aktif di berbagai kegiatan Rukun Kawanua (perkumpulan warga Sulawesi Utara) di Jabodetabek, dan juga bersama polisi–polisi di Pusdik Reserse Megamendung berinteraksi dalam berbagai acara ibadah. Keberadaan Ursinus Medellu adalah sosok orang lurus dan alim, seperti kisah legenda Laksamana Muda John Lie, dan mantan Kasum TNI Letnan Jenderal (Purn) HBL Manitiri di komunitas Kawanua dan Kristiani di Jabodetabek hingga akhir hayat.
Baca juga: Rumah Jenderal Polisi Itu di Dalam Gang...