Selama 25 Tahun Era Reformasi, Demokrasi Dinilai Mandek
Demokrasi kini sangat mengkhawatirkan karena ada pemikiran elite politik untuk membangun koalisi besar secara permanen.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
Demokrasi di Indonesia dinilai terus mengalami kemunduran di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Diakhir masa pemerintahan Jokowi, kekuasaan semakin terkonsentrasi pada presiden, sedangkan oposisi dan masyarakat sipil lemah, bahkan terkooptasi. Akibatnya, tidak ada kontrol atas kekuasaan. Partai politik pun dinilai gagal menciptakan mekanisme check and balance yang jadi esensi demokrasi.
Bahkan selama tahun 2023, sorotan publik terfokus pada institusi hukum. Tindakan paling berbahaya bagi demokrasi di Indonesia terjadi pada 16 Oktober 2023. Mahkamah Konstitusi (MK), yang diketuai oleh Anwar Usman, mengabulkan gugatan yang membuat Gibran Rakabuming Raka (36), anak sulung Jokowi, dapat dicalonkan sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto. Anwar Usman merupakan ipar Jokowi.
Isu lain adalah soal pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian hari makin menurun akibat kasus hukum yang menjerat ketuanya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin nyata dilakukan tanpa rasa malu.
Pakar Aliansi Kebangsaan, Manuel Kaisiepo menjelaskan, merosotnya kepercayaan publik yang luar biasa terjadi kepada lembaga-lembaga baru yang dibentuk di era reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin menandakan bahwa perkembangan demokrasi Indonesia pasca reformasi yang telah berjalan 25 tahun terus mengalami kemunduran.
"Merosotnya kepercayaan publik yang luar biasa terjadi kepada lembaga-lembaga baru yang dibentuk di era reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin menandakan bahwa perkembangan demokrasi Indonesia pasca reformasi yang telah berjalan 25 tahun terus mengalami kemunduran"
Kemunduran demokrasi itu secara kasat mata telah terjadi dan kian memuncak pada Pemilu 2024. Karena itu, diperlukan langkah untuk menata ulang demokrasi Indonesia pasca reformasi dengan cara mencari pilihan-pilihan demokrasi yang lebih sesuai dengan konteks keindonesiaan.
"Penegakan hukum telah dipermainkan dan dirancang melalui proses nirpartisipatif warga, serta korupsi, kolusi dan nepotisme juga semakin nyata dilakukan tanpa rasa malu," kata Manuel saat diskusi publik “Meninjau Ulang Demokrasi Indonesia Era Reformasi” yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia secara daring Rabu (27/3/2024).
Manuel memetakan perjalanan demokrasi di Indonesia. Pada awal era Presiden BJ Habibie terdapat hal-hal baru yang telah dilakukan untuk memperkuat demokrasi. Habibie mulai merintis kebebasan pers. Selanjutnya, pada era Presiden Gus Dur yang juga banyak hal telah dibuat, salah satunya menciptakan Undang-Undang Peradilan HAM meski dilakukan hanya dalam waktu yang singkat.
Karena itu, pada periode 1999-2004 tersebut merupakan era yang cukup baik untuk melanjutkan konsolidasi proses demokrasi di Indonesia. Karena periode tersebut telah dilaksanakan pemilihan langsung yang pertama kali.
Namun, periode selanjutnya yakni 2004-2014 justru terjadi era yang disebut demokrasi stagnasi. Hal ini disebabkan telah terjadinya tawar-menawar kekuasaan antara presiden dengan partai dan kekuatan di parlemen lainnya, sehingga demokrasi itu dikorbankan.
”Celakanya lagi pada periode 2014-2024 justru terjadi demokrasi stagnasi menuju kemunduran yang lebih parah. Dari stagnasi mengalami kemunduran. Dalam 10 tahun terakhir ini terjadi suatu pola koalisi bersama antara presiden, parlemen, partai-partai politik, tentara, polisi, dan oligarki,” kata Manuel.
Demokrasi stagnan
Menurut Manuel, dibangunnya koalisi besar selama 10 tahun terakhir itu telah menyebabkan demokrasi stagnan menjadi semakin mundur. Hal ini akan semakin berbahaya ke depan. Sebab, Manuel memprediksi, koalisi bersama tersebut akan dilakukan oleh pemerintahan berikutnya dan akan merusak demokrasi secara terus menerus.
”Semua kekuatan-kekuatan partai yang seharusnya menjadi kekuatan pengimbang dalam kerangka check n balances justru berada di sekitar presiden. Semua kekuatan tersebut tentu mendapatkan imbalan jasa dalam alokasi politik ataupun alokasi ekonomi. Jika ini terus berlanjut ke depan ini lah yang membahayakan”
”Semua kekuatan-kekuatan partai yang seharusnya menjadi kekuatan pengimbang dalam kerangka check n balances justru berada di sekitar presiden. Semua kekuatan tersebut tentu mendapatkan imbalan jasa dalam alokasi politik ataupun alokasi ekonomi. Jika ini terus berlanjut ke depan ini lah yang membahayakan,” kata Manuel.
Bahkan, saat ini semakin mengkhawatirkan karena ada pemikiran elite politik untuk membangun koalisi besar secara permanen. Alasannya, untuk menjaga keberlanjutan pembangunan menuju generasi emas 2045. Alasan tersebut, lanjut Manuel, hanya sebagai pembenaran untuk membuat proses demokrasi Indonesia semakin mengalami kemunduran.
”Selama 25 tahun ini bukan hanya akan mundur (demokrasi) tetapi juga demokrasi kita akan rusak,” ujar Manuel menambahkan.
Oposisi berkualitas
Peneliti Pusat Riset Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Irine Hiraswari berharap ada oposisi berkualitas pada pemerintahan periode 2024-2029. Jika tidak ada oposisi maka harus dilakukan peninjauan ulang terhadap sistem dan mekanisme check and balance dalam suatu pemerintahan yang lebih optimal.
”Selama 25 tahun ini bukan hanya akan mundur (demokrasi) tetapi juga demokrasi kita akan rusak”
Kemudian, yang lebih penting, lanjut Irine, pasca Pemilu 2024 harus ada langkah untuk memperkuat dan meningkatkan pendidikan politik serta kesadaran publik dalam berdemokrasi. Jika partisipasi politik rendah atau pemahaman politik minim di kalangan masyarakat akan menyebabkan demokrasi tidak berfungsi dengan baik.
”Dengan semangat persatuan-kekeluargaan itulah mereka berjuang meraih kemerdekaan dan membentuk negara-nasional, dan dengan semangat itu pula demokrasi diarahkan untuk mencapai masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Rancang bangun demokrasi kita sepatutnya diletakkan dalam semangat itu”
Sofian Effendi dari anggota Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menambahkan, ada dua isu utama yang harus ditangani dalam kerangka transformasi bangsa terkait politik dan demokrasi. Pertama, kenyataan Indonesia sebagai bangsa majemuk. Tantangannya bagaimana mengembangkan demokrasi inklusif, yang bisa memberikan rekognisi dan akomodasi bagi keragaman individu, keragaman golongan, dan keragaman teritorial.
Kedua, kenyataan Indonesia sebagai masyarakat pasca-kolonial dengan beragam bentuk kesenjangan sosial. Perlunya mengupayakan kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan (demokrasi politik) yang bersejalan dengan paritisipasi dan emansipasi di bidang ekononomi (demokrasi ekonomi).
Menurut Sofian, para pendiri bangsa telah menyadari bahwa kunci utama untuk menghadapi kemajemukan Indonesia secara sosial-budaya dan sosial-ekonomi itu memerlukan penguatan semangat kekeluargaan atau gotong-royong.
”Dengan semangat persatuan-kekeluargaan itulah mereka berjuang meraih kemerdekaan dan membentuk negara-nasional, dan dengan semangat itu pula demokrasi diarahkan untuk mencapai masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Rancang bangun demokrasi kita sepatutnya diletakkan dalam semangat itu,” tutur Sofian.