Anwar Usman Kembali Dijatuhi Sanksi Etik, Dinilai Turunkan Marwah MK
MKMK menilai sikap dan tindakan Anwar Usman telah menurunkan citra dan wibawa MK di hadapan publik.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hakim Konstitusi Anwar Usman kembali dijatuhi sanksi etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK. Kali ini, Anwar dikenai sanksi teguran tertulis atas sikapnya yang tidak menerima kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jakarta saat diberhentikan dari jabatan ketua MK oleh MKMK ad hoc pimpinan Jimly Asshiddiqie.
MKMK memandang serius sikap dan perilaku Anwar Usman tersebut mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan bagi Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan.
”Dampak lain yang ditimbulkan akibat sikap hakim terlapor (Anwar) demikian adalah turunnya citra dan wibawa MK di mata masyarakat. Padahal, kepercayaan dan dukungan masyarakat merupakan kebutuhan mutlak bagi penataan dan efektivitas putusan-putusan MK,” kata Yuliandri, anggota MKMK saat membacakan pertimbangan penjatuhan sanksi bagi Anwar, Kamis (28/3/2024).
Anwar terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi Sapta Karsa Hutama, khususnya Prinsip Kepantasan dan Kesopanan butir penerapan angka 1 dan angka 2.
”Dengan demikian, MKMK memandang perlu untuk memberikan teguran tertulis kepada hakim terlapor untuk menunjukkan sikap patuhnya yang tulus terhadap putusan Majelis Kehormatan, in casu putusan Nomor 2/MKMK/L/2023,” kata Yuliandri.
Putusan MKMK tersebut dijatuhkan karena adanya tiga laporan yang disampaikan, antara lain, oleh advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, advokat Harjo Winoto, dan dua mahasiswa (Alvon Pratama Sitorus dan Junaedi Malau). Sidang putusan etik tersebut digelar secara terbuka di gedung II Mahkamah Konstitusi dengan dipimpin Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna.
Dampak lain yang ditimbulkan akibat sikap hakim terlapor (Anwar) demikian adalah turunnya citra dan wibawa MK di mata masyarakat.
Para pelapor mempersoalkan konferensi pers yang digelar Anwar Usman pada 8 November 2023 sehari setelah dibacakannya putusan MKMK ad hoc yang memberhentikan Anwar dari posisi ketua MK. Saat itu, Anwar mengungkapkan adanya skenario untuk menjatuhkan dirinya melalui pembentukan MKMK dan menuding adanya fitnah terkait dengan keterlibatannya dalam penanganan perkara 90/PUU-XXI/2023 soal syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden.
Pertimbangan MKMK
Dalam pertimbangannya, MKMK melihat adanya gelagat Anwar, baik tersirat maupun tersurat, yang tidak mau menerima putusan MKMK ad hoc. MKMK memberi perhatian khusus atas hal tersebut, apalagi sikap tidak menerima atau tidak legawa atas putusan MKMK ad hoc tersebut disampaikan kepada publik yang diliput media secara luas. Dalam konferensi pers tersebut, Anwar keberatan terhadap prosedur berperkara di MKMK, pertimbangan MKMK, dan lainnya.
Terlebih, Anwar kemudian menggugat ke PTUN Jakarta atas dampak putusan MKMK. ”Tindakan hakim terlapor punya pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap marwah dan keseluruhan MK, antara lain tingkat kepercayaan masyarakat ke MK,” kata Yuliandri.
MKMK juga menekankan pentingnya Sapta Karsa Hutama sebagai syarat yang tidak dapat ditiadakan dari amanat dan kebutuhan konstitusional untuk menghadirkan sosok pengemban hakim konstitusi yang dipersyaratkan harus melekat integritas, kepribadian jujur, tak tercela, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tak merangkap sebagai pejabat negara. Ini merupakan amanat dari Pasal 24C Ayat 5 UUD 1945.
Selain kepakaran, kepribadian, sikap, dan perilaku etis dalam mengemban jabatan yang dipercayakan kepadanya merupakan hal yang penting bagi hakim konstitusi. Sebab, menurut MKMK, hakim konstitusi adalah pilar utama dan roh MK yang merupakan pengawal dan penafsir konstitusi yang penafsirannya mengikat seluruh warga negara dan penyelenggara negara.
”Sapta Karsa Hutama secara esensial adalah ibarat konstitusi etik bagi hakim konstitusi. Sapta Karsa Hutama memiliki kedudukan dasar dan fundamental, bukan pajangan formalitas yang nir makna dan esensi. Oleh karena itu, Sapta Karsa Hutama harus benar-benar diinternalisasi dan mendarah daging bagi hakim konstitusi,” ujar MKMK.