Mantan orang dalam KPK menyebut perlu ada pergantian kepemimpinan hingga revisi UU KPK lagi untuk kembalikan marwah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Polemik internal di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi sebenarnya sudah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya oleh mantan orang dalam. Untuk mengembalikan marwahlembaga antirasuah itu, mantan komisioner dan penasihat KPK menilai perlu ada perubahan kepemimpinan di lingkup internal. Harapan tertingginya adalah merevisi kembali Undang-Undang KPK. Namun, syaratnya, harus ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR.
Sebelumnya diberitakan, KPK kini kian terbelit polemik internal (Kompas, 27/4/2024). Ada 93 pegawai di lembaga antirasuah itu diperiksa dalam sidang etik terkait dugaan pemerasan terhadap tahanan KPK. Bahkan, sebelum itu, bekas Ketua KPK Firli Bahuri juga diduga terlibat penerimaan gratifikasi dari bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, terdakwa kasus korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian.
Kini, giliran Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK dengan dugaan pelanggaran etik karena diduga berkomunikasi dengan pejabat Kementan untuk kepentingan mutasi salah satu pegawai di kementerian tersebut. Laporan itu justru berbuntut panjang karena Ghufron justru melaporkan salah satu anggota Dewas KPK Albertina Ho, ke Dewas KPK dengan dugaan penyalahgunaan wewenang,
Disesalkan
Anggota KPK 2015-2019, Laode M Syarif, saat dihubungi, Sabtu (27/4/2024), menuturkan, dirinya melihat konflik Nurul Ghufron dengan Dewas KPK sebagai sesuatu yang harus disesali. Sebab, hal itu berdampak pada semakin menurunnya kredibilitas kelembagaan KPK. Jika komisioner KPK itu merasa tak bersalah, seharusnya bisa mempersilakan Dewas memeriksanya dengan bebas dan tidak perlu saling melapor.
”Tugas dan kewenangan Dewas jelas dan dijamin undang-undang untuk mengawasi perilaku pimpinan dan seluruh insan KPK,” ucapnya.
Laode pun menyarankan agar pimpinan KPK lebih fokus mengerjakan hal-hal yang lebih substansial dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan korupsi. Hal yang terjadi saat ini justru kontradiktif karena seolah anggota KPK sibuk dengan hal-hal remeh-temeh yang tidak perlu.
”Solusi jangka pendeknya memang diperlukan leadership (kepemimpinan) di KPK yang sudah terlalu banyak ditimpa krisis internal,” lanjutnya.
Karena pimpinan KPK periode ini akan berakhir masa jabatannya pada Desember 2024, ia pun berharap panitia seleksi (pansel) yang dibentuk presiden nantinya terdiri atas orang-orang yang memiliki integritas dan memiliki pengetahuan soal antikorupsi.
Revisi UU dan seleksi komisioner
Mantan Penasihat KPK Budi Santoso berpandangan, polemik internal di KPK sebenarnya tidak mengejutkan. Hal itu sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari terutama jika melihat kualitas pansel KPK untuk pimpinan periode saat ini. Sejak proses seleksi, internal KPK ataupun kelompok masyarakat sipil kritis kerap memprotes hal itu.
”Protesnya terkait dua hal, terutama revisi UU KPK dan kedua proses seleksi pimpinan KPK. Kalau dibuka di file dokumen lama ada semua foto-foto aksi, surat kepada pansel. Tetapi, saat itu tidak ada yang digubris. The show must go on dan seperti inilah yang kita saksikan sekarang,” tuturnya.
Ia pun prihatin dengan polemik internal yang terus menghantam KPK. Dimulai dari bekas anggota KPK Lili Pintauli Siregar yang mundur karena kasus dugaan gratifikasi, bekas Ketua KPK Firli Bahuri yang mundur karena dugaan korupsi, hingga yang terakhir terjadi pada Nurul Ghufron.
Dengan berat hati, memang standar moral dari pimpinan KPK periode ini sudah diragukan oleh banyak pihak.
Kondisi itu pun sebenarnya juga sudah diduga dan diprediksi olehnya. Ternyata, hal itu benar-benar terjadi di periode-periode pertengahan dan di akhir masa jabatan pimpinan KPK. Hal itu dimulai saat bekas Ketua KPK Firli Bahuri naik helikopter dan Lili Pintauli menerima gratifikasi tiket nonton MotoGP di Mandalika, Lombok, NTB.
”Dengan berat hati, memang standar moral dari pimpinan KPK periode ini sudah diragukan oleh banyak pihak. Termasuk kami di internal,” katanya.
Jika ditanya siapa yang paling bertanggung jawab terhadap situasi ini, menurut dia, adalah pansel KPK periode tersebut. Situasi itu diperparah dengan situasi yang melingkupi, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di internal KPK. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK berdampak pada melemahnya KPK karena independensinya dicopoti.
”Dulu tidak ada SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), sekarang jadi ada SP3. Pegawai KPK sekarang semuanya ASN (aparatur sipil negara) yang kemudian kulturnya berbeda dan semakin tidak independen dan imparsial,” tambahnya.
Di era kepemimpinan sebelumnya, menurut Budi fungsi pengawasan internal pun berjalan sehingga pelanggaran-pelanggaran etik bisa diminimalisasi. Namun, fungsi pengawas internal pun kini diganti dengan kelembagaan baru yang justru malah menyuburkan kasus pelanggaran etik dan hukum.
”Di periode sebelumnya, dulu ada pelanggaran dan penyimpangan, tetapi tidak separah ini karena pengawas internal bekerja secara efektif dengan hukuman yang tegas,” jelasnya.
Kembalikan marwah
Dengan kondisi yang kompleks itu, Budi berpandangan bahwa secara jangka panjang, perlu ada komitmen atau kemauan politik yang kuat untuk merevisi UU KPK untuk mengembalikan marwah KPK. Presiden-wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bisa memulai pemerintahannya dengan komitmen tersebut.
Jika revisi undang-undang membutuhkan energi dan konsolidasi politik yang besar, Prabowo pun bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Merevisi UU KPK adalah jalan keluar pertama untuk mengembalikan kewenangan KPK yang dicabuti semua.
Namun, ia juga menyadari bahwa hal itu adalah tuntutan tertinggi (high call) bagi pemerintahan baru ke depan. Meskipun demikian, dia berharap pemerintahan baru nanti bisa berkomitmen kuat untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi.
”Merevisi UU KPK adalah jalan keluar pertama untuk mengembalikan kewenangan KPK yang dicabuti semua. Jika tidak bisa direvisi, setidaknya kembalikan ke undang-undang yang lama,” ungkapnya.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas periode Desember 2023, citra baik lembaga KPK berada di angka 47,5 persen. Angka tersebut terendah dari 22 kali survei sejak Januari 2015. Padahal, pada survei Januari 2015, citra baik KPK pernah berada di angka 88,5 persen.
Masih menurut hasil survei Litbang Kompas, penurunan citra KPK itu tak lepas dari rentetan kejadian yang mengarah ke lembaga itu sepanjang empat tahun terakhir. Revisi UU KPK yang ditolak luas oleh publik, tes wawasan kebangsaan, dan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN jadi penyebabnya (Kompas.id, 3/1/2024).