Koalisi Besar Tanpa ”Oposisi”, Sebuah Pertaruhan bagi Demokrasi
Pemerintahan yang mengakomodasi seluruh parpol tanpa ”oposisi” merupakan tanda berakhirnya demokrasi.
Satu jam setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum pada Rabu (24/4/2024) siang, Prabowo Subianto sudah berada di Kantor Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta. Ketua Umum Partai Gerindra yang mengenakan kemeja safari putih, celana hitam, dan kopiah hitam disambut oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang mengenakan pakaian senada. Kedua ketua umum partai politik yang sebelumnya bertarung dalam Pemilihan Presiden 2024 itu berjalan beriringan di atas karpet merah yang dipasang di depan pintu Gedung DPP PKB.
Prabowo dan Muhaimin yang sama-sama didampingi oleh sejumlah elite kedua partai memasuki ruang pertemuan di lantai dua gedung tersebut. Mereka berbicara secara tertutup sekitar satu jam. Seusai pertemuan tertutup, keduanya menemui awak media dengan wajah penuh senyum. Muhaimin menyampaikan selamat atas keterpilihan Prabowo dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, serta menyatakan kesediaan untuk mendukung pemerintahan 2024-2029.
Menanggapi dukungan Muhaimin, Prabowo pun mengatakan, pemilu telah usai. Kontestasi memang telah berlangsung sengit, tetapi para elite harus kembali bersatu setelahnya. Sebagai pemenang pilpres, Prabowo pun berkomitmen untuk merangkul semua kekuatan politik, tidak hanya yang mengusungnya, tetapi juga yang berada di kubu lawan. ”Hanya dengan bersatu, bekerja sama, kita akan mencapai cita-cita yang diharapkan oleh bangsa kita,” ungkapnya.
Pada Pilpres 2024, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan salah satu partai pengusung pasangan Anies Basweedan-Muhaimin Iskandar selain Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebelum bergabung dalam koalisi tersebut, PKB berkoalisi dengan Partai Gerindra untuk mengusung Prabowo. Akan tetapi, PKB membatalkan kerja sama politik tersebut karena tak mendapatkan kesempatan menjadikan Muhaimin sebagai pendamping Prabowo.
Tak hanya PKB, Partai Nasdem juga menyatakan dukungan resmi kepada Prabowo-Gibran sehari setelahnya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Nasdem Surya Paloh yang berkunjung ke kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (25/4/2024) sore. Nasdem, bahkan, dengan tegas menyampaikan kesiapan untuk bergabung di barisan partai politik pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebelumnya, Prabowo juga sempat berkunjung ke Kantor DPP Nasdem, Jakarta, akhir Maret lalu.
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Wihadi Wiyanto dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum yang disiarkan di Kompas TV, Rabu (1/5/2024) malam, mengatakan, pertemuan dengan sejumlah parpol di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) merupakan realisasi dari komitmen Prabowo untuk merangkul semua elemen bangsa untuk membangun Indonesia. Ia tidak memungkiri, merangkul yang dimaksud Prabowo salah satunya bermakna mengajak semua parpol menjadi bagian dari koalisi pemerintahan. Akan tetapi, itu tak bisa dilakukan tanpa penyamaan visi dan misi sebelumnya.
Baca juga: Koalisi Prabowo Sudah Siapkan Jatah Menteri untuk PKB dan Nasdem
Oleh karena itu, komunikasi dengan keempat parpol yang berada di luar KIM terus dilakukan. Namun, dari empat parpol dimaksud masih ada dua parpol, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang belum bisa diajak berkomunikasi langsung oleh Prabowo.
”Komunikasi tetap dijalankan di level pimpinan parpol untuk memberikan pengertian (mengenai) dan satu visi misi. Tetapi, kita lihat bahwa setiap parpol memiliki batasan, misalnya, komunikasi yang belum dengan Pak Prabowo secara langsung itu adalah PDI-P karena masih menunggu rakernas (rapat kerja nasional). Dari PKS juga masih menunggu musyawarah majelis syuro,” kata Wihadi.
Menurut dia, tidak akan ada masalah jika seluruh parpol bergabung dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. Mekanisme kontrol dalam pemerintahan juga diyakini tak terganggu. Sekalipun semua parpol ada dalam satu barisan, DPR tetap akan mengritik pemerintah tanpa kegaduhan. Dengan demikian, stabilitas negara tetap terjaga.
”Intinya, kita dalam koalisi itu butuh stabilitas, baik stabilitas politik, ekonomi, maupun keamanan. Permasalahannya kalau kita tidak stabil, bagaimana kita membangun untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Bukan masalah ini sama dengan Orde Baru, tetapi kita memang butuh kestabilan,” ujar Wihadi.
Selain Wihadi, bincang-bincang bertema ”Berebut Kursi Menteri” yang dipandu wartawan senior harian Kompas Budiman Tanuredjo tersebut juga menghadirkan Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng, Juru Bicara PKS Pipin Sopian, dan pemikir kebinekaan Sukidi. Hadir pula secara daring Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda.
Tidak akan ada masalah jika semua parpol bergabung dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. Mekanisme kontrol dalam pemerintahan juga diyakini tak terganggu
Syaiful Huda membenarkan, saat bertemu dengan Muhaimin, Prabowo menyampaikan bahwa pemerintahan yang dibentuk masih membutuhkan dukungan dari parpol di luar pengusungnya. Dalam konteks itu, PKB sepakat untuk mendukung Prabowo-Gibran untuk melanjutkan kerja sama yang selama ini telah terjalin di koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Kendati demikian, belum ada pembicaraan mengenai pembagian kekuasaan di pemerintahan nantinya.
”Ketika kita ketemu Pak Prabowo, kerangka awalnya adalah Indonesia butuh kebersamaan untuk menghadapi krisis yang akan kita hadapi di tahun-tahun yang akan datang. Kalau urusan menteri itu ranah Presiden dan KIM yang sudah menjadi bagian dari kekuatan koalisi Pak Prabowo,” kata Huda.
Tetap butuh oposisi
Andi Mallarangeng mengatakan, wajar jika Prabowo berupaya untuk merangkul parpol-parpol di luar KIM. Sebab, pemerintahan yang efektif membutuhkan dukungan mayoritas parpol pemilik kursi di parlemen. Sementara itu, empat parpol KIM yang lolos ke parlemen, yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN), baru menguasai 48 persen dari total kursi di DPR.
”Artinya, tetapi butuh dukungan dari satu atau dua partai lagi. Tapi jangan semua (masuk pemerintahan), karena kalau semua, kan, tidak ada oposisi,” kata Andi. Keberadaan parpol oposisi, lanjutnya, penting untuk menjaga demokrasi Indonesia. Bagaimanapun, pemerintah membutuhkan suara dari luar pemerintahan.
Di luar itu, Andi juga menekankan soal konsistensi dukungan parpol terhadap pemerintahan yang dibentuk Prabowo-Gibran. Jangan sampai parpol yang sudah menyatakan bergabung dengan barisan parpol koalisi pemerintah, malah tidak mendukung program-progam pemerintah.
”Hal yang penting, siapa pun dari pendukung 01 (kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan 03 (kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD) kalau ada yang bergabung dengan koalisi pemerintahan Prabowo itu harus konsisten. Jangan sampai (seperti) sekarang ini, ada di dalam pemerintahan, tetapi rasa oposisi,” tuturnya.
Pipin Sopian mengatakan, meski tetap berkomunikasi dengan kubu Prabowo, partainya belum memutuskan sikap resmi untuk lima tahun ke depan. Pengambilan keputusan di PKS harus melalui mekanisme musyawarah Majelis Syura yang beranggota 99 orang serta mempertimbangkan keinginan seluruh kader dan pengurus dari akar rumput hingga tingkat teratas. Sampai saat ini, belum pula ditentukan kapan musyawarah Majelis Syura itu digelar.
Baca juga: Kubu Prabowo-Gibran Beda Pendapat, Demokrat Anggap Penting ”Teman” Debat di Parlemen
Berkaca dari pengalaman, PKS pernah berada di dalam koalisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun. PKS pernah pula berada di luar pemerintahan selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pada dua posisi itu, kata Pipin, PKS konsisten pada peran sebagai papol. PKS tetap merancang dan melaksanakan program yang dibutuhkan masyarakat saat memimpin sejumlah kementerian, ataupun menyuarakan aspirasi kritis masyarakat saat berada di luar pemerintahan.
”Jadi, bagi kami memang ketika berada di dalam maupun di luar pemerintahan, kita fokus,” kata Pipin.
Masa depan demokrasi
Upaya untuk merangkul semua parpol di luar KIM ke koalisi pemerintahan, menurut Sukidi, menunjukkan fase baru demokrasi Indonesia yang mengarah pada populisme otoriter. Hal itu terjadi karena ada upaya untuk menebalkan kekuasaan eksekutif dengan menarik semua kekuatan ke koalisi pemerintahan dan meniadakan kekuatan di luar pemerintahan. ”Kekuasaan eksekutif yang terlampau tebal dan besar itu akhirnya berjalan tanpa mekanisme check and balances‚ baik dari yudikatif maupun legislatif,” ujarnya.
Lebih dari itu, kontrol dari masyarakat sipil dan para intelektual juga tidak ada karena eksekutif juga melakukan langkah sistematis untuk membungkam suara kelompok tersebut. Misalnya, dengan kebijakan pemilihan pejabat kampus yang ditentukan oleh eksekutif. Akibatnya, kekuasaan yang sewenang-wenang berjalan relatif tanpa kritik yang berarti dari semua lini.
Sukidi melanjutkan, kerusakan demokrasi itu menjadi kian parah karena seolah-olah mendapatkan persetujuan dari publik melalui pemilu. Mayoritas masyarakat tetap memilih pemimpin eksekutif yang terasosiasi dengan perilaku yang melanggar norma-norma demokrasi. ”Ini membahayakan sekali, karena demokrasi diperlakukan tidak lebih dari tampilan demokrasi. Pemilu memang ada, parpol ada, tetapi substansi dan norma demokrasi yang tidak tertulis sudah dirusak sedemikian parah,” katanya.
Baca juga: Koalisi Prabowo-Gibran Menguasai Parlemen
Menurut Sukidi, jika pemerintahan Prabowo-Gibran benar-benar akan mengakomodasi seluruh kekuatan parpol tanpa menyisakan kekuatan di luar pemerintahan, itu sama saja tanda bahwa demokrasi Indonesia telah berakhir. Masyarakat akan semakin tersubordinasi oleh negara yang begitu kuat dan belum tentu berorientasi pada kepentingan rakyat. ”Selamat tinggal demokrasi, selamat datang populisme otoriter,” tuturnya.