AstraZeneca Tak Ditarik, Masyarakat Diminta Pilih Vaksin Produksi Lokal
Respons setiap ras terhadap jenis pengobatan atau vaksin tertentu bisa berbeda. Namun, harus tetap ada kejelasan.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menanggapi pengakuan AstraZeneca yang mengatakan bahwa vaksin Covid-19 yang dikembangkannya bersama Universitas Oxford dapat menyebabkan efek samping berupa trombosis dengan trombositopenia, Pemerintah Indonesia belum akan menarik vaksin tersebut dari pasaran. Apalagi, efek samping AstraZeneca yang berpotensi menyebabkan pembekuan darah ditegaskan tidak ditemukan di Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, ia sudah mengecek ke Indonesia Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI) yang menyatakan belum ada warga Indonesia yang terdampak pemakaian vaksin AstraZeneca. Namun, masyarakat Indonesia yang masih memerlukan vaksin Covid-19 diminta untuk lebih memilih menggunakan vaksin produksi dalam negeri.
”Alhamdulillah, sampai sekarang saya cek datanya apakah ada kejadian itu di Indonesia. Apakah ada kejadian itu di luar negeri, mungkin ada. Nah, besarnya berapa banyak, sekali lagi, memang tergantung dari genetika populasinya. Sebab, beda-beda, kan, antara ras Jawa dengan ras Sumatera, dengan ras Sulawesi, Kalimantan,” ujar Budi ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (3/5/2024).
Menurut Budi, respons setiap ras terhadap jenis pengobatan atau vaksin tertentu memang bisa berbeda. ”Ya, mungkin kejadian di satu negara mungkin khusus populasi mereka,” ujar Menkes Budi.
Namun, Budi mengingatkan bahwa memang efek samping dari vaksin AstraZeneca ini sempat mencuat dari sejak masa pandemi Covid-19. ”Seingat saya, waktu itu, memang ada risiko tersebut, kecil. Tapi, dilihat oleh dunia medis, WHO kan yang meng-approve langsung ini bilang bahwa benefit-nya lebih besar daripada risiko sehingga waktu itu diberikan izin untuk dijalankan di seluruh dunia,” katanya.
Alhamdulillah, sampai sekarang saya cek datanya apakah ada kejadian itu di Indonesia. Apakah ada kejadian itu di luar negeri, mungkin ada. Nah, besarnya berapa banyak, sekali lagi, memang tergantung dari genetika populasinya. Sebab, beda-beda, kan, antara ras Jawa dengan ras Sumatera, dengan ras Sulawesi, Kalimantan.
Besar keuntungan daripada risikonya
Ketika mencuat kabar terkait dampak buruk pemakaian AstraZeneca di masa pandemi, pemerintah kala itu pun meminta badan independen seperti ITAGI untuk memberikan kajian terhadap berbagai jenis vaksin Covid-19, temasuk AstraZeneca. Kesimpulan saat itu adalah sama bahwa keuntungan dari vaksin tersebut lebih besar daripada risikonya.
”Apakah ada risikonya? Ternyata memang ada karena manusia, kan, genetiknya beda-beda. Ada beberapa yang mungkin cocok, ada beberapa yang mungkin tidak cocok, dan pertimbanganmya waktu itu adalah bahwa ini benefit-nya jauh lebih besar untuk melindungi masyarakat secara umum dibandingkan risiko,” ujar Menkes.
Ternyata memang ada karena manusia, kan, genetiknya beda-beda. Ada beberapa yang mungkin cocok, ada beberapa yang mungkin tidak cocok, dan pertimbanganmya waktu itu adalah bahwa ini benefit-nya jauh lebih besar untuk melindungi masyarakat secara umum dibandingkan risiko.
Seiring pengakuan dampak buruk ikutan dari pemberian vaksin AstraZeneca, Pemerintah Indonesia tidak akan menarik AstraZeneca dari pasaran karena vaksinasi Covid-19 pun sudah jarang dilakukan. Namun, bagi jemaah haji yang masih memerlukan vaksinasi ataupun bagi mereka yang komorbid dan butuh vaksin Covid-19, Budi menyarankan pemakaian vaksin produksi dalam negeri karena risikonya lebih rendah.
Dalam proses ilmiah, kejujuran penting harus disertai strategi komunikasi risiko karena masyarakat tidak cukup mendapat (informasi), harus ada kejelasan. Bagaimana ini sudah saya terima karena mereka khawatir. Ini harus menjelaskan kepada publik itu harusnya mereka menyertakan penjelasan supaya tidak ada kepanikan. Ini berpengaruh pada kepercayaan publik.
Komunikasi risiko
Dalam proses ilmiah, kejujuran penting harus disertai strategi komunikasi risiko karena masyarakat tidak cukup mendapat (informasi), harus ada kejelasan.
Dicky Budiman, ahli epidemiologi dari Griffith University, Australia, menyayangkan strategi komunikasi risiko yang sangat lemah dari pihak AstraZeneca. Sejak awal riset hingga saat ini, strategi komunikasi risiko AstraZeneca dinilai sangat buruk. Meskipun AstraZeneca membuka tentang potensi efek samping, tidak disertai komunikasi risiko tentang dampak pemakaian AstraZeneca bagi mayoritas pemakainya.
”Dalam proses ilmiah, kejujuran penting harus disertai strategi komunikasi risiko karena masyarakat tidak cukup mendapat (informasi), harus ada kejelasan. Bagaimana ini sudah saya terima karena mereka khawatir. Ini harus menjelaskan kepada publik itu harusnya mereka menyertakan penjelasan supaya tidak ada kepanikan. Ini berpengaruh pada kepercayaan publik,” tuturnya, menambahkan.
Dikutip dari situs berita Inggris, The Telegraph, pengakuan dari AstraZeneca disampaikan dalam dokumen hukum yang diserahkan ke pengadilan tinggi di London, Inggris, pada Februari 2024. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa vaksin Covid-19 buatan mereka ”dapat, dalam kasus yang sangat jarang, menyebabkan TTS (trombosis dengan trombositopenia)”. (WKM)