Narkoba Marak Dijual dengan Kemasan Makanan, Masyarakat Kian Terancam
Modus peredaran narkoba dalam kemasan makanan seperti susu semakin mendekatkan zat adiktif itu kepada masyarakat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjualan narkoba menggunakan kemasan makanan yang marak ditemukan belakangan ini menunjukkan bahwa peredaran zat adiktif tersebut semakin dekat dengan masyarakat. Kepolisian terus memburu produsen, bandar, hingga pengedar narkoba demi melindungi masyarakat dan mencegah kerusakan yang lebih besar.
Pada Senin (6/5/2024), Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mengungkap kasus peredaran gelap narkoba selama delapan bulan sejak September 2023-Mei 2024. Selama periode itu, Satuan Tugas Penanggulangan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P3GN) telah menangkap 28.382 tersangka. Sebanyak 23.333 tersangka sedang menjalani proses penyidikan, sedangkan 5.049 lainnya tengah menjalani rehabilitasi. Selama itu pula, polisi telah menerbitkan 19.098 laporan.
”Ditinjau dari hasil pengungkapan yang kami lakukan, Satgas P3GN telah berhasil menyelamatkan 29.094.472 jiwa,” kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Mukti Juharsa dalam jumpa pers, Senin.
Mukti menambahkan, dalam kurun waktu tersebut Polri menyita narkoba jenis sabu seberat 1,78 ton; kokain 11,34 kilogram; tembakau Gorila seberat 141,4 kilogram; ketamin seberat 32,27 kilogram; heroin 86 gram; dan obat keras sebanyak 8.103.730 butir.
Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mengungkap kasus narkoba sepanjang September 2023-Mei 2024, Senin (6/5/2024). Dalam kurun waktu tersebut Polri menyita narkoba jenis sabu seberat 1,78 ton yang salah satunya dikemas dalam kaleng susu krimer.
Polri menyoroti 10 kasus yang menonjol, di antaranya peredaran gelap narkoba jenis sabu dengan modus dimasukkan ke dalam kaleng susu krimer dengan berat 20 kilogram oleh Satgas P3GN Polda Kalimatan Utara. Narkoba itu dimasukkan dalam wadah susu krimer baru untuk menyamarkan.
Pada November 2023, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri juga mengungkap laboratorium gelap narkoba jenis happy water yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan keripik pisang di Bantul, DI Yogyakarta. Keripik pisang narkoba dijual dalam berbagai kemasan mulai dari 50 gram hingga 500 gram dengan harga Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta melalui toko daring.
Mukti tak menampik bahwa modus pengemasan narkoba dalam kaleng susu krimer dan keripik pisang itu semakin mendekatkan narkoba dengan masyarakat. Oleh sebab itu, Polri terus mengejar para pelaku yang mencoba mengelabui aparat tersebut. Tidak hanya mengelabui polisi, para pelaku juga mengelabui petugas Bea Cukai yang bertugas di wilayah-wilayah perbatasan.
Petugas Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri menunjukkan barang bukti berupa sabu yang dikemas dalam kaleng susu krimer saat pengungkapan kasus narkoba sepanjang September 2023-Mei 2024, Senin (6/5/2024).
”Peredaran sabu itu beralih dari Sumatera ke Kalimantan dan Sulawesi. Jadi, strategi kami tetap konsisten menutup pintu masuk dari daerah tersebut. Apalagi, modusnya juga hampir sama karena mengelabui petugas dengan kemasan bentuk makanan,” ujarnya.
Meski modusnya hampir sama, menurut dia, jaringan peredaran gelap narkoba itu tetap berbeda-beda. Polisi sedang mengejar berbagai produsen dan bandar narkoba yang membuat laboratorium narkoba sendiri. Sejauh ini sudah ada setidaknya enam laboratorium narkoba yang digerebek oleh polisi baik Polda Metro Jaya, Polda Jawa Timur, maupun Mabes Polri.
”Kami mengimbau kepada masyarakat agar lebih aktif melaporkan kalau ada keanehan di wilayahnya. Contohnya, yang di Semarang itu aneh karena tidak pernah bersosialisasi dan bertemu masyarakat. Kalau ada seperti itu, segera lapor polisi biar kami cek. Sebab, sekarang modus membuat laboratorium sendiri itu sudah banyak,” ujarnya.
Modus pengemasan narkoba dalam kaleng susu krimer dan keripik pisang itu semakin mendekatkan narkoba dengan masyarakat.
Ia juga sepakat bahwa peredaran narkoba dengan modus makanan membuat narkoba semakin dekat dengan masyarakat. Oleh sebab itu, menurut dia, idealnya hukuman terberat, yaitu hukuman mati, harus diterapkan untuk kasus narkoba agar menimbulkan efek jera.
”Bagusnya hukuman mati. Tapi, nanti kita lihat dulu regulasinya karena ada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP) baru,” katanya.
Fredy Pratama
Terkait dengan kasus bos sindikat narkoba jaringan internasional Fredy Pratama yang membangun laboratorium gelap pembuatan ekstasi di Sunter, Jakarta Utara, Mukti menyebut bahwa sudah ada komitmen antara Polri dan Kepolisian Thailand untuk menjerat pelaku dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Harta benda Fredy Pratama yang disamarkan melalui istrinya yang berkewarganegaraan Thailand akan diproses bersama kedua aparat penegak hukum.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Mukti Juharsa saat konferensi pers di Bareskrim Polri, Senin (5/6/2024).
”Sudah ada komitmen dari Kepala Polisi Bagian Narkotika di Thailand dengan kami di Indonesia karena tindak pidana awal ada di Indonesia, maka harus diserahkan kepada kami. Tapi, asetnya tidak ada yang di Indonesia, semuanya di Thailand,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, laboratorium atau pabrik ekstasi milik Fredy Pratama di kawasan Sunter, Jakarta Utara, digerebek oleh aparat Dirtipidus Bareskrim Polri pada awal April. Dari rumah tinggal yang dijadikan pabrik ekstasi itu aparat mengamankan empat tersangka dan ribuan butir ekstasi. Ruang pembuatan ekstasi terletak di sebuah kamar berukuran 2 meter x 3 meter yang terletak di lantai 2, persis di sisi kanan tangga (Kompas.id, 8/4/2024).
Ketua RW 012 Kelurahan Papanggo Suryanto mengatakan, ia tidak banyak mengetahui aktivitas orang-orang yang ada di rumah tersebut, termasuk adanya pengiriman barang atau paket dalam jumlah besar ke rumah itu. Hal yang jelas, rumah tersebut beberapa kali dikontrakkan oleh pemiliknya.
”Kami kaget, apalagi ternyata dijadikan pabrik (ekstasi),” kata Suryanto.