Presiden Dukung Usulan Luhut agar Prabowo-Gibran Jangan Bawa ”Orang Toxic” ke Kabinet
Soal tambahan menteri, Presiden ”no-comment”. Soal pernyataan Luhut ”orang toxic” masuk kabinet, apa kata Presiden?
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terkait gagasan pembentukan 41 kementerian dan lembaga yang disebut usulan yang disampaikan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih, Presiden Joko Widodo menegaskan tak akan memberikan masukan. Namun, Presiden Jokowi mendukung usulan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan agar presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tak memilih orang toxic sebagai anggota kabinetnya kelak.
Presiden Jokowi menyatakan bahwa segala urusan terkait pembentukan kabinet mendatang, termasuk usulan penambahan jumlah kementerian, merupakan hak presiden terpilih Prabowo Subianto.
”Kabinet yang akan datang ditanyakan dongkepada presiden terpilih. Tanyakan kepada presiden terpilih. Tanyakan kepada presiden terpilih,” ujar Presiden Jokowi ketika memberikan keterangan pers setelah acara peresmian Indonesia Digital Test House (IDTH) di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi Depok, Jawa Barat, Selasa (7/5/2024).
Presiden Jokowi pun menegaskan tak ada masukan darinya terkait rencana penambahan jumlah kementerian ini. ”Oh, enggak ada, enggak ada (masukan),” kata Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi juga tertawa ketika diminta tanggapannya terkait pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang berpesan agar presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, tidak membawa orang toxic ke kabinetnya. ”Udah bener dong. Bener, bener,” ucap Presiden Jokowi sembari tertawa.
Kabinet yang akan datang ditanyakan dong kepada presiden terpilih.
Namun, Presiden Jokowi tak menjawab lebih dalam ketika ditanya tentang maksud pernyataan bahwa pernyataan Luhut sudah benar. ”Ya, ditanyakan kepada Pak Luhut,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Presiden juga enggan menjawab pertanyaan tentang partai politik yang nantinya akan menjadi kendaraannya setelah tak lagi menjadi presiden. ”Akan berlabuh di pelabuhan,” ujarnya.
Tak ada urgensi penambahan
Dimintai tanggapannya tentang potensi penambahan jumlah kementerian, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, mengatakan tidak melihat adanya urgensi penambahan jumlah kementerian. Menurut Herdiansyah, tidak ada argumentasi yang memadai dalam usulan tersebut.
Logikanya, agar koalisi tetap solid, jatah kuenya mesti merata. Dan pos jatahnya dikocok dari jumlah kementerian.
”Ini pure soal politik bagi-bagi kekuasaan, sebagai konsekuensi koalisi gemuk pendukung Prabowo. Logikanya, agar koalisi tetap solid, jatah kuenya mesti merata. Dan pos jatahnya dikocok dari jumlah kementerian,” ujarnya.
Herdiansyah mencontohkan, rencana penambahan kementerian perpajakan dan pangan yang juga pernah disebut Prabowo dalam debat calon presiden dinilai tidak efektif. Kementerian perpajakan ataupun pangan sejatinya menjadi bagian integral dari kementerian keuangan dan kementerian pertanian.
Tidak ”ratio legis”
”Jadi, tidak ratio legis atau pemikiran hukum menurut akal sehat, yang merupakan alasan atau tujuan dari lahirnya peraturan hukum di balik usulan penambahan jumlah kementerian, selain urusan bagi-bagi jatah kue di antara koalisi,” ucapnya.
Namun, ia menilai upaya penambahan kementerian dari 34 ke 41 mengarah ke rencana serius. Hal ini antara lain tampak dari munculnya dukungan dari beberapa akademisi. Sebelumnya muncul usulan dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bahwa kementerian idealnya berjumlah 41.
Penambahan jumlah kementerian ini kemungkinan besar akan dilakukan melalui dua jalur, yaitu melalui perubahan UU Kementerian Negara atau melalui Mahkamah Konstitusi. Saat ini, undang-undang tersebut telah membatasi jumlah maksimal kementerian sebanyak 34.
”Kan, bukan hal yang baru. Menggunakan corong MK sebagai jalan pintas legitimasi kekuasaan (politization of judiciary) sudah sering kali dilakukan,” kata Herdiansyah.