Pelaksanaan Pilkada 2024 di Aceh dan Papua dikhawatirkan kacau apabila tidak ada penguatan kapasitas penyelenggara.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi meminta Komisi Pemilihan Umum RI memperkuat kapasitas penyelenggara pemilu di Aceh dan Papua. Sebab, sejumlah permasalahan perselisihan hasil pemilu legislatif di Mahkamah Konstitusi pada kedua daerah tersebut turut disebabkan oleh faktor penyelenggara pemilu. Tanpa ada penguatan kapasitas penyelenggara, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2024 di Aceh dan Papua dikhawatirkan kacau.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, sejumlah permasalahan yang terungkap dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) anggota legislatif untuk daerah Aceh dan Papua turut disebabkan oleh faktor penyelenggara pemilu. Hal itu mengakibatkan sejumlah peserta pemilu merasa dirugikan, bahkan terus menggugatnya sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Beberapa di antaranya adalah saran perbaikan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, Bawaslu menemukan perbedaan hasil rekapitulasi di beberapa tempat meskipun saat proses rekapitulasi berjenjang tidak terungkap. Padahal, semestinya berbagai masalah itu bisa diselesaikan di daerah tanpa harus berlanjut ke MK.
”Itu nanti kalau pilkada (pemilihan kepala daerah) semakin kacau. Bisa terjadi keributan di daerah kalau penyelenggaranya enggak benar,ya. Ini untuk menjadi perhatian ke depan karena pilkada, kan, nanti bulan November sudah kita mulai. Itu hati-hati sekali supaya diperbaiki, ya, Papua dan Aceh ini, terutama temuan-temuan Bawaslunya,” tutur Arief saat sidang lanjutan PHPU pemilihan legislatif di panel 3 yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/5/2024).
Catatan dari Arief itu pun selaras dengan rekapitulasi perkara PHPU Pileg 2024 berdasarkan provinsi. Papua Tengah menjadi provinsi dengan jumlah perkara PHPU DPR/DPRD terbanyak, yakni 24 perkara. Adapun perkara PHPU DPR/DPRD di lima provinsi lain di Papua ialah Papua Barat Daya (5 perkara), Papua Pegunungan (19 perkara), Papua Selatan (5 perkara), Papua Barat (8 perkara), dan Papua (17 perkara).
Sementara itu, jumlah perkara PHPU DPR/DPRD di Aceh mencapai 21 perkara atau berada di urutan kedua setelah Papua Tengah. Untuk perkara PHPU DPD, jumlah perkara untuk Papua Tengah dan Papua Selatan masing-masing dua perkara.
Arief mengingatkan, KPU harus mampu menyelenggarakan Pilkada 2024 di Aceh dan Papua dengan baik. Jika ada masalah, sebaiknya bisa diselesaikan di daerah sehingga permasalahan tidak perlu berlanjut hingga ke MK.
Di sisi lain, Bawaslu harus lebih teliti dalam mengawasi tahapan rekapitulasi suara berjenjang. Temuan semestinya sudah ada saat proses rekapitulasi berlangsung sehingga bisa langsung diperbaiki. Sebab, temuan tidak akan berarti jika waktunya sudah terlambat.
”Kalau bisa itu enggak usah ke MK, sudah selesai dengan sebaik-baiknya kalau penyelenggaraannya baik. Kalau begini, kan, MK harus menyelesaikan semuanya,” ucap Arief.
Atas berbagai permasalahan penyelenggaraan pemilu di Aceh dan Papua, Arief meminta KPU untuk memperkuat kapasitas penyelenggara di kedua daerah tersebut. Masih ada waktu sekitar enam bulan sebelum pilkada pada November 2024 untuk memperbaiki agar masalah yang muncul saat Pemilu 2024 tidak berulang.
Arief mewanti-wanti agar jangan sampai masalah yang disebabkan oleh faktor penyelenggara saat pemilu kembali terjadi saat pilkada.
”Untuk perhatian KPU RI masih ada waktu agak lama, beberapa bulan, untuk bisa diperbaiki. Kalau memang enggak benar, enggak mampu, diganti saja penyelenggaranya,” ucap Arief.