Pascapembahasan Papua di Istana, Pemerintah Diminta Kedepankan Resolusi Konflik
Hingga saat ini, pendekatan yang dilakukan pemerintah terbukti tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan konflik.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo kembali memimpin rapat terkait kelanjutan kebijakan Papua yang antara lain dihadiri Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo di Istana Kepresidenan Jakarta. Terkait pembangunan di Papua, pemerintah diminta mengubah pendekatan dan mengedepankan resolusi konflik untuk selesaikan konflik di Papua yang telah berlangsung lebih dari 60 tahun.
Selama ini diakui pendekatan resolusi konflik hingga hari ini belum pernah dirancang. Anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menegaskan bahwa pembangunan di Papua harus mengacu pada kebijakan otonomi khusus.
”Kalau bicara bagaimana konfliknya selesai, ya, enggak bisa lewat pendekatan kesejahteraan. Artinya, harus ada pendekatan resolusi konflik Papua yang sampai hari ini enggak pernah dirancang,” ujar Adriana yang juga merupakan Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) saat dihubungi, Kamis (9/5/2024).
Baca juga: Presiden Panggil Prabowo hingga Kapolri Bahas Kesejahteraan Papua
Rapat internal pada Rabu (8/5/2024) tersebut juga dihadiri Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal Bambang Ismawan, Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal (Purn) Budi Gunawan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa, dan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo. Pembahasan antara lain mengenai anggaran untuk operasi khusus di Papua dan strategi percepatan pembangunan Papua dengan mengedepankan pendekatan kesejahteraan.
Menurut Adriana, kesejahteraan ada yang sifatnya fisik dan nonfisik. Pemerintah sudah berupaya menciptakan kesejahteraan secara fisik yang sebagian sudah tercapai di Papua. Namun, pembangunan di beberapa sektor nonfisik, seperti pendidikan, kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi, belum bisa maksimal karena masih adanya konflik di Papua. Pemerintah diminta melakukan pendekatan resolusi konflik selain pendekatan kesejahteraan dan keamanan.
Kalau bicara bagaimana konfliknya selesai, ya, enggak bisa lewat pendekatan kesejahteraan. Artinya harus ada pendekatan resolusi konflik Papua yang sampai hari ini enggak pernah dirancang.
Bangunan sekolah dasar yang dibakar OPM di Pogapa, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Rabu (1/5/2024).
Hingga saat ini, pendekatan yang dilakukan pemerintah terbukti tidak bisa digunakan untuk penyelesaian konflik. ”Jadi, seolah-olah kalau kesejahteraan meningkat pasti tidak akan ada lagi tuntutan-tuntutan politik yang tidak terbukti sampai hari ini. Artinya apa? Harus ada rancangan baru. Bagaimana merancang perdamaian di Papua dengan peace building process,” tuturnya.
Bertumpu otonomi khusus
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga menilai pelaksanaan strategi pembangunan harus bertumpu pada prinsip otonomi khusus Papua. Keputusan apa pun terkait penyelenggaraan pemerintahan Papua harus ditentukan oleh wakil-wakil yang otentik dari orang asli Papua, dalam hal ini harus melalui Majelis Rakyat Papua (MRP).
MRP adalah lembaga representasi kultural tertinggi yang sudah ditegaskan di UU Otsus, tetapi pemerintah tidak pernah mau mengikuti kehendak MRP.
Menurut dia, MRP adalah lembaga representasi kultural tertinggi yang sudah ditegaskan di UU Otsus, tetapi pemerintah tidak pernah mau mengikuti kehendak MRP. Sebaliknya, UU Otsus revisi kedua justru malah memangkas kewenangan otonom mereka, baik dalam hal pengelolaan SDA, investasi, maupun pemekaran provinsi.
Eskalasi konflik di Papua hanya bisa diturunkan apabila pendekatan militeristik dihentikan dan diganti dengan pendekatan dialog, termasuk dengan kelompok prokemerdekaan. Usman menambahkan bahwa kajian Lemhanas pada 2023 menyimpulkan bahwa strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah pusat tidak menurunkan perlawanan politik ataupun bersenjata.
Dialog bermakna
”Semakin intensif pembangunan, semakin eskalatif konflik dan kekerasan bersenjata di Papua. Masalah Papua bisa diselesaikan jika prinsip otonomi dan dialog yang bermakna itu dijalankan. Harus diingat bahwa konflik Papua telah berlangsung selama 60 tahunan. Kalau pendekatannya tidak berubah, mustahil akan bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan,” papar Usman.
Kalau pendekatannya tidak berubah maka mustahil akan bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan.
Adriana menambahkan bahwa pendekatan kesejahteraan dan keamanan yang dilakukan pemerintah tidak saling berkorelasi positif. Bahkan, di daerah konflik, pembangunan tidak bisa dilaksanakan karena semua dirancang secara parsial.
Dalam peace building process yang diusulkan LIPI, pembangunan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan didukung pendekatan keamanan. ”Kalau pendekatan keamanan terlalu dominan seperti sekarang, di beberapa kabupaten biasanya situasinya jadi konflik terus. Itu karena memang tidak ada pemikiran bagaimana sebenarnya semua itu bisa berkorelasi positif. Itu hanya bisa dibantu dengan pendekatan resolusi konflik,” tuturnya.
Pemerintah diharapkan benar-benar memahami akar konflik di Papua, apakah hanya sekadar konflik separatis, konflik sumber daya alam, atau konflik sosial. Dari setiap jenis konflik itu, pemerintah juga harus memetakan aktor-aktor yang punya kepentingan. Mereka itulah yang kemudian diajak berpikir bersama untuk menciptakan perdamaian di Papua.
Kalau pendekatan keamanan terlalu dominan seperti sekarang di beberapa kabupaten biasanya situasinya jadi konflik terus.
Selama ini, konflik bersenjata di Papua cenderung diatasi dengan pendekatan militer. ”Kita lihat hasilnya sampai sekarang masih ada terus. Bahkan, eskalasi kekerasannya meningkat sejak 2018. Harus ada pendekatan resolusi konflik caranya bagaimana kembali ke usulan saya dan teman-teman di LIPI dengan pendekatan dialog,” ucapnya.
Adriana menegaskan bahwa dialog itu tidak meniadakan penegakan hukum. ”Hal semacam itu enggak pernah dibicarakan secara khusus seolah-olah otsus itu sudah jalan keluar. Kalau untuk resolusi pembangunan mungkin bisa, tetapi kalau di daerah konflik: tidak ada hasil optimal,” katanya.
Tentu saja untuk menyejahterakan Papua pasti tidak akan selesai dalam satu periode kepemimpinan nasional. Harus dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya.
Konsep peace building process, menurut Adriana, sudah didiskusikan dengan Kantor Sekretariat Wakil Presiden. Namun, hingga kini, ia tak tahu apakah konsep itu sudah disetujui Wapres. Peace building process diyakini bisa menjadi dasar untuk perbaikan-perbaikan di Papua dan diharapkan bisa diterapkan oleh pemerintahan mendatang. ”Clue-nya adalah dialog lintas sektor untuk semua masalah-masalah sektoral yang masih harus diperbaiki di Papua,” ujarnya.
Baca juga: Dialog dengan Masyarakat Papua Perlu Lebih Inklusif
Sebelumnya, Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi Masduki Baidlowi mengatakan bahwa Wapres Amin yang merupakan Ketua Badan Pengarah Percepatan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) berencana menggelar kunjungan kerja ke Papua pada awal Juni mendatang. Dalam setiap kali kunjungan ke Papua, Masduki menegaskan bahwa fokus wapres adalah pendekatan kesejahteraan.
Menurut Masduki, bagi Wapres Amin yang terpenting dari pelaksanaan pembangunan kesejahteraan Papua adalah harus berdasarkan aspirasi masyarakat Papua. Oleh karena itu, Wapres lebih sering mendengar aspirasi masyarakat Papua dari berbagai lapisan. ”Tentu saja untuk menyejahterakan Papua pasti tidak akan selesai dalam satu periode kepemimpinan nasional. Harus dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya,” ucapnya.