Tingginya Angka Perkawinan Usia Anak di Indonesia
Perkawinan usia anak cenderung akan menjerumuskan anak ke dalam permasalahan yang lebih kompleks.
Perkawinan usia anak bukan solusi untuk mengatasi persoalan ekonomi ataupun permasalahan sosial. Sebaliknya, praktik ini justru akan menjerumuskan anak ke dalam masalah yang lebih kompleks.
Di tengah isu penurunan angka perkawinan secara nasional hingga 7,5 persen pada tahun 2023, ternyata Indonesia masih dihadapkan pada segudang masalah perkawinan usia anak. Hingga saat ini ratusan ribu anak-anak di bawah usia 18 tahun telah melangsungkan perkawinannya dengan berbagai alasan. Salah satu penyebab adalah persoalan ekonomi keluarga.
Berdasarkan data BPS selama satu dekade terakhir, angka perkawinan di bawah umur terus terjadi. Setiap tahun terjadi perkawinan usia anak di Indonesia sekitar 10,5 persen. Provinsi dengan angka perkawinan usia anak tertinggi pada tahun lalu adalah Nusa Tenggara Barat yang sebesar 17,32 persen, kemudian disusul Sumatera Selatan 11,41 persen, dan Kalimantan Barat 11,29 persen.
Tak heran perkawinan anak di Indonesia termasuk tertinggi secara global. Berdasarkan data Unicef 2023, peringkat Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah anak perempuan yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa. Angka tersebut sekaligus menobatkan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan anak terbesar.
Fenomena tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Pasalnya, banyak sekali kerugian yang dialami anak apabila menikah di usia terlalu dini, yaitu kurang dari 18 tahun. Komnas Perempuan menyebutkan ada enam bahaya perkawinan anak yang mengancam masa depan pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Baca juga: Perkawinan Anak di Pelosok Lampung Memprihatinkan
Pertama, anak perempuan yang kawin sebelum usia 18 tahun memiliki risiko gagal menuntaskan pendidikan menengah hingga empat kali lebih besar dibandingkan perempuan lainnya. Kedua, kerugian ekonomi yang diakibatkan perkawinan anak ditaksir sebanyak 1,7 persen dari pendapatannya. Hal tersebut disebabkan anak-anak perempuan terhambat untuk berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi. Ketiga, perempuan usia muda sangat rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.
Keempat, risiko kematian saat masa kehamilan dan melahirkan meningkat drastis. Komplikasi saat kehamilan dan kelahiran menjadi penyebab kematian kedua terbesar anak perempuan berusia 15-19 tahun di Indonesia. Perempuan muda yang melahirkan juga rentan mengalami kerusakan organ reproduksinya.
Selain risiko kematian ibu saat melahirkan, tingkat kematian bayi yang dilahirkan oleh perempuan usia muda juga terbilang tinggi. Bayi yang lahir dari ibu berusia kurang dari 20 tahun berpeluang 1,5 kali lebih besar meninggal sebelum usia 28 hari dibandingkan dari ibu yang berusia 20-30 tahun. Terakhir, sedikitnya 1 dari 3 anak balita yang lahir dari ibu berusia bawah umur akan mengalami tengkes.
Perlindungan hukum
Pemerintah berusaha menegakkan perlindungan bagi perempuan di bawah umur agar tidak terjerat perkawinan dini. Sayangnya, perubahan/amendemen Undang-Undang Perkawinan Tahun 2019 yang menaikkan batas minimal usia menikah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan belum signifikan menurunkan perkawinan anak. Rata-rata kasus perkawinan anak masih mencapai 8,64 persen secara nasional sepanjang periode 2020-2023.
Bahkan, pascapenetapan amendemen UU Perkawinan pada tahun 2019, angka dispensasi perkawinan anak melejit hingga 173 persen di tahun 2020. Dispensasi perkawinan tahun 2019 oleh Pengadilan Agama sebesar 23.145 kasus, kemudian naik hingga mencapai 63.382 kasus di tahun berikutnya. Tingginya dispensasi masih berlanjut hingga tahun 2022.
Baca juga: Pernikahan Menjadi Beban dan Bukan Lagi Prioritas Orang Muda Indonesia
Fenomena dispensasi itu tak luput dari kekhawatiran pihak orangtua karena anaknya telah berhubungan seksual sehingga berisiko hamil di luar nikah. Ada pula pemberian dispensasi karena anak telah hamil terlebih dahulu. Apabila merujuk UU Perkawinan, dispensasi diberikan berdasarkan pada pertimbangan moral, agama, adat, budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan seluruh dampak yang ditimbulkan kemudian hari.
Secara tidak langsung, praktik perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak-anak. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Anak-anak juga berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Karenanya, perkawinan anak cenderung hanya akan merenggut masa depan gemilang anak-anak Indonesia.
Program pencegahan
Kehidupan anak yang berkualitas menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan di sebuah negara. Demi mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), Indonesia harus serius dalam pencegahan perkawinan anak. Ada tujuh poin dalam SDGs yang terkait erat dengan upaya menjamin kehidupan layak bagi anak.
Tujuh poin itu adalah menuntaskan kemiskinan (tujuan ke-1), menghilangkan kelaparan (tujuan ke-2), menjamin kesehatan anak (tujuan ke-3), memberikan pendidikan layak (tujuan ke-4), kesetaraan jender (tujuan ke-5), perlindungan terhadap perubahan iklim (tujuan ke-13), dan mencegah kekerasan terhadap anak (tujuan ke-16). Dari semua tujuan tersebut, poin perlindungan anak dari tindak kekerasan menjadi salah satu titik yang krusial.
Dukungan pemerintah dalam upaya pencegahan diimplementasikan setidaknya ke dalam dua kebijakan nasional. Pertama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak memasukkan indikator perkawinan anak sebagai salah satu indikator kunci untuk Kota Layak Anak. Kedua, Bappenas melalui dokumen Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak meletakkan pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu kunci kebijakan RPJMN 2020-2024.
Baca juga: Anak-Anak yang Dinikahkan Dini
Sementara itu, Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak di UI merumuskan upaya pencegahan perkawinan anak ke dalam empat langkah prioritas. Langkah pertama adalah meningkatkan dukungan pengasuhan dan akses pada layanan dasar dan perawatan sosial di sekitar anak agar orang tua dapat menjalankan perannya secara optimal.
Kedua, menguatkan ikatan sosial di keluarga, kelompok sebaya, dan komunitas untuk menguatkan dukungan positif yang didapatkan oleh anak. Ketiga, mengembangkan kemampuan anak dalam menimbang risiko kehamilan dan memutuskan untuk melindungi dirinya. Keempat, membuka dan menyetarakan akses pada pendidikan dan kesempatan sosial-ekonomi berkualitas agar anak memiliki aspirasi masa remaja yang positif.
Sudah saatnya Indonesia menguatkan upaya pencegahan perkawinan anak. Pertimbangan menikahkan anak untuk meringankan beban ekonomi keluarga, menghindari pergaulan bebas, atau karena anak telanjur hamil bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, pemahaman utuh terkait perlindungan anak harus dimiliki oleh setiap orangtua, demikian pula anak-anak harus memiliki pemahaman yang sama. (LITBANG KOMPAS)