Menanti Perdamaian bagi Gaza di Bulan Ramadhan (Bagian 1)
Dewan Keamanan PBB akhirnya mengadopsi resolusi yang menuntut gencatan senjata segera terhadap konflik Israel-Hamas.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akhirnya mengadopsi resolusi yang menuntut gencatan senjata segera terhadap konflik Israel-Hamas. Alasan kemanusiaan menjadi katalis utama mengapa akhirnya resolusi yang lama dinantikan ini dapat terwujud.
Bulan Ramadhan tahun ini akan menjadi salah satu momen bersejarah bagi Palestina. Pada 25 Maret 2024 atau 14 Ramadhan 1445 Hijriah, Dewan Keamanan PBB sepakat mengusung resolusi yang menuntut gencatan senjata segera (immediate ceasefire) atas konflik Israel-Hamas selama bulan Ramadhan berlangsung atau selama dua minggu ke depan. Resolusi ini dipandang menjadi harapan terkuat sejauh ini dalam upaya membawa perdamaian di Jalur Gaza.
Kekuatan paling utama dari resolusi bernomor S/RES/2728 (2024) ini terletak pada penggunaan diksi gencatan senjata untuk pertama kalinya dalam resolusi DK PBB sejak perang meletus pada 7 Oktober 2024. Dari beberapa konsep yang ada, gencatan senjata secara luas dipahami sebagai aras tertinggi penghentian pertempuran yang bersifat lebih mengikat, formal, dan luas. Banyak kasus juga menunjukkan gencatan senjata cukup manjur sebagai pembuka pintu proses perundingan damai yang lebih permanen (Kompas.id, 24/11/2023).
Meskipun tidak ada definisi legal internasional yang baku, Israel selama ini bersikukuh menghindari istilah gencatan senjata. Mengutip dari The New York Times, ”alergi” Israel terhadap gencatan senjata pernah diutarakan secara langsung oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ia menyatakan bahwa seruan melakukan gencatan senjata berarti meminta Israel menyerah kepada Hamas dan terorisme.
Baca juga: Gaza dalam Bayang-bayang Pusara Genosida
Gencatan senjata
Keengganan Tel Aviv terhadap penggunaan istilah gencatan senjata dapat dipahami ketika melihat obyek utama Israel menggempur Gaza adalah melenyapkan Hamas secara total dan final. Pemberlakuan gencatan senjata dengan demikian dipandang oleh Israel sebagai penghalang tercapainya ambisi mereka menghabisi Hamas. Israel juga memandang gencatan senjata dapat memberikan keuntungan taktis bagi Hamas karena memberikan jeda waktu untuk mengonsolidasikan kembali kekuatan yang tercerai-berai.
Alasan lainnya terletak di sisi semiotik. Gencatan senjata umumnya mengisyaratkan kesetaraan dari kedua belah pihak yang berunding. Biasanya, gencatan senjata diambil ketika pertempuran di medan perang menemui kebuntuan.
Gencatan senjata juga jamak dilakukan ketika kedua belah pihak menyadari pertempuran yang terus berlanjut akan menghasilkan korban dan biaya perang yang tidak bisa lagi ditanggung. Salah satu contoh yang paling terkenal dari situasi seperti itu adalah gencatan senjata antara Korea Utara dan Korea Selatan pada 27 Juli 1953 yang masih berlaku hingga hari ini.
Israel tentu tak sudi dianggap setara dengan Hamas atau dinilai menghadapi kebuntuan dalam peperangan. Pasalnya, secara statistik, kekuatan militer Israel jelas jauh di atas angin. Melansir Forbes, Israel diperkirakan memiliki 634.500 personel pasukan militer, dengan 73,2 persen di antaranya terhitung sebagai personel aktif pada Januari 2024.
Daya gempur Israel pun tergolong luar biasa karena didukung oleh sejumlah mesin tempur paling canggih di dunia, seperti pesawat tempur generasi kelima, F-35 Lightning II buatan AS.
Sebaliknya, Brigade Qassam, sayap militer Hamas, ditaksir hanya berkekuatan sekitar 30.000 pejuang atau 21 kali lipat lebih kecil dari Israel. Perlengkapan tempurnya pun relatif sangat terbatas dan sederhana jika dibandingkan dengan Israel. Tanpa pesawat tempur dan kendaraan lapis baja, pejuang Hamas lebih banyak mengandalkan roket buatan sendiri dan senjata ringan seperti senapan serbu QBZ dan peluncur granat QLZ87 buatan China (Kompas.id, 29/1/2024).
Dengan semua keunggulan militer tersebut, tentu cukup wajar apabila Israel merasa sangat percaya diri dapat melenyapkan Hamas dari muka bumi. Namun, kepercayaan diri Israel itu sepertinya mulai terkikis. Hamas masih belum juga ditaklukkan meski sudah digempur habis-habisan selama enam bulan. Durasi perang ini saja sudah memecahkan rekor sebagai perang terbuka terpanjang Israel melawan Palestina sepanjang sejarah.
Baca juga: Dunia Mendesak Terciptanya Gencatan Senjata bagi Gaza
Sampai 9 Januari 2024, tentara Israel mengklaim semakin menghabisi kekuatan Hamas dengan melenyapkan sekitar 9.000 pejuang yang disebutnya sebagai teroris. Namun, banyak pihak meragukan klaim itu. Dalam berbagai kesempatan, Hamas terbukti masih mampu memberikan perlawanan. Melansir pantauan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan di Palestina (OCHA oPt), tentara Israel telah kehilangan 251 prajurit dan 1.509 lainnya cedera sejak serangan darat ke Gaza pada 28 Oktober 2023.
Di samping itu, hasil investigasi dari BBC menunjukkan bahwa aksi militer Israel malah lebih banyak membunuh warga sipil Palestina ketimbang menyasar pejuang Hamas. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan, hingga 25 Maret 2024, jumlah korban jiwa dari sisi Palestina telah mencapai 32.333 orang. Sebanyak 68 persen atau 22.000 di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Tingginya korban jiwa dari pihak sipil tak bisa dilepaskan dari strategi Israel yang menggempur habis-habisan seluruh penjuru Jalur Gaza tanpa pandang bulu. Tentara Israel telah berulang kali terbukti menjadikan fasilitas umum dan permukiman sebagai target sasaran mereka, seperti sekolah, tempat ibadah, dan kamp pengungsian.
Salah satu aksi Israel yang paling sadis adalah ketika pasukan Israel menembaki kerumunan warga sipil Palestina yang tengah mengantre bantuan pada 29 Februari 2024. Sedikitnya 104 orang tewas dan 750 cedera akibat pembantaian tersebut (Kompas.id, 29/2/2024).
Perubahan haluan sikap AS
Semua perlakuan militer Israel terhadap warga sipil Palestina itulah yang dipandang sebagai katalis pokok terciptanya resolusi gencatan senjata dari Dewan Keamanan PBB pada 25 Maret 2024. Tercapainya resolusi penting ini tak bisa dilepaskan dari sikap abstain Amerika Serikat, sekutu paling dekat dan setia Israel.
Keabstainan AS ini menjadi spesial karena untuk pertama kali AS tidak menolak draf resolusi yang menggunakan diksi gencatan senjata segera. Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menyatakan, abstain dipilih ketimbang veto karena resolusi dinilai memiliki cerminan pandangan AS untuk mewujudkan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Ini menjadi pesan kuat bahwa AS sudah benar-benar jengah terhadap sikap keras kepala Israel dan mulai menyelaraskan diri dengan tuntutan komunitas internasional.
Perubahan haluan dukungan AS terhadap Israel sejatinya sudah dapat dilihat sejak sidang ke-9.574 Dewan Keamanan PBB pada 22 Maret 2024. Kala itu, AS mengusulkan draf resolusi yang menyerukan ”gencatan senjata segera”. Namun, resolusi tersebut ditolak Rusia, China, dan Aljazair. Inti dari penolakan tersebut adalah isi resolusi dari AS secara keseluruhan tidak menunjukkan tuntutan yang tegas terhadap gencatan senjata.
Baca juga: PBB Gagal Jawab Kebutuhan Gaza, AS Semakin Terisolasi
Penggunaan diksi gencatan senjata tersebut cukup menarik karena Washington secara konsisten memveto tiga draf resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut penghentian pertempuran. Veto pertama AS diberikan pada 18 Oktober 2023 karena draf resolusi tidak menyertakan hak Israel untuk mempertahankan diri.
Lantas, veto berikutnya dikeluarkan pada 8 Desember 2023 dengan alasan resolusi tidak memasukkan kecaman terhadap Hamas atas ”serangan teroris yang mengerikan”. Terakhir, veto AS pada 20 Februari 2024 dilandasi argumen bahwa resolusi dapat mengancam pembicaraan antara AS, Mesir, Israel, dan Qatar yang membahas jeda pertempuran dan pembebasan sandera.
Sikap abstain Washington ini disambut amarah Netanyahu. Melansir Reuters, ia menyatakan bahwa ”kegagalan” AS memveto resolusi telah mencederai upaya perang melawan Hamas dan pembebasan 130 tawanan Israel di Gaza. Ungkapan protes Tel Aviv juga dinyatakan melalui pembatalan lawatan delegasi tingkat tinggi Israel ke Washington terkait rencana operasi militer Israel di Rafah. Gedung Putih lantas menyatakan sangat kecewa terhadap keputusan Netanyahu tersebut.
Lebih dari itu, resistansi Israel terhadap resolusi ditegaskan dengan pernyataan bahwa mereka tidak memiliki kewajiban moral untuk menghentikan pertempuran selama Hamas belum melepaskan semua sandera. Padahal, Hamas memberikan respons positif terhadap resolusi dan menyatakan siap untuk segera melakukan penukaran tawanan dengan Israel.
Arogansi Israel semakin diwujudkan dengan tetap melanjutkan gempuran terhadap Gaza pada Selasa, 26 Maret 2024, atau sehari setelah resolusi diadopsi. Mengutip CNN, setidaknya 81 orang dilaporkan tewas pada hari itu akibat serangan udara dan darat Israel di penjuru Gaza.
Padahal, resolusi ini merupakan harapan terkuat bagi terciptanya perdamaian di Gaza. Israel sepertinya lupa bahwa, sebagai negara anggota PBB, mereka terikat secara hukum terhadap resolusi dari Dewan Keamanan PBB. Hal ini tertuang dalam ayat 25 dan semua isi Bab VII Piagam PBB yang menyatakan bahwa semua negara anggota PBB menyetujui untuk menerima dan melaksanakan setiap keputusan Dewan Keamanan.
Meski Israel menolak mentah-mentah gencatan senjata, bukan berarti harapan perdamaian sirna begitu saja. Sepanjang sejarahnya, resolusi Dewan Keamanan PBB terbukti manjur untuk menghentikan konflik dan membawa perdamaian. Tak hanya itu, masih terdapat sejumlah cara yang bisa ditempuh PBB dan komunitas internasional untuk dapat memastikan bahwa resolusi gencatan senjata akhirnya dipatuhi oleh Israel dan Hamas. (LITBANG KOMPAS)