Mencermati Efek Domino Pelemahan Rupiah
Pemerintah dan otoritas moneter perlu mengantisipasi pelemahan rupiah dan juga ancaman konflik di Timur Tengah.
Pelemahan rupiah berpotensi menimbulkan efek domino bagi perekonomian nasional. Pemerintah dan otoritas moneter perlu segera mempersiapkan sejumlah langkah kebijakan untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah ancaman konflik di Timur Tengah yang kian memanas.
Stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah harapan bagi kita semua. Sayangnya, menjaga stabilitas nilai kurs itu tidaklah mudah. Nyatanya, Indonesia mengalami proses pelemahan nilai tukar rupiah sehingga saat ini nilai kursnya tembus pada angka psikologis sebesar Rp 16.000 per dollar AS.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada penutupan perdagangan Jumat (19/4/2024) sebesar Rp 16.280 per dollar AS, melemah ketimbang penutupan sehari sebelumnya yang sebesar Rp 16.177 per dollar AS. Posisi ini merupakan yang terendah sejak April 2020.
Sepanjang triwulan pertama 2024, mata uang rupiah tercatat terus mengalami tekanan hingga terdepresiasi sekitar 2,6 persen. Bahkan, pelemahan rupiah terhadap dollas AS masih berlanjut hingga April ini.
Kondisi tersebut tidak hanya dialami Indonesia. Pelemahan mata uang juga dialami oleh banyak negara lain di dunia. Di Asia, misalnya, mayoritas mata uang melemah terhadap dollar AS. Won Korea mencatat pelemahan terdalam, yakni 1,25 persen; disusul peso Filipina yang melemah 0,59 persen; dan dollar Taiwan melemah 0,44 persen. Selanjutnya, juga diikuti dengan pelemahan dollar Singapura 0,20 persen; baht Thailand 0,15 persen; ringgit Malaysia 0,09 persen; dan yuan China melemah 0,04 persen.
Jika dicermati, ada sejumlah faktor yang menjadi pemicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar baik dari sisi eksternal maupun internal. Di sisi eksternal, pelemahan rupiah dipengaruhi oleh sentimen global. Sentimen tersebut ialah rilis data fundamental AS yang menunjukkan ekonomi AS masih resilien sehingga menurunkan ekspektasi penurunan suku bunga acuan.
Pelemahan rupiah terjadi setelah beberapa pejabat Bank Sentral AS kembali mempertegas bahwa mereka akan mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi untuk waktu lebih lama. Ketua The Fed Jerome Powell menegaskan bahwa masih diperlukan waktu lebih lanjut sebelum memutuskan adanya pemangkasan suku bunga. Dalam sebuah diskusi panel di Washington Forum, pada 16 April 2024, ia menyatakan bahwa perekonomian AS belum mencapai target inflasi bank sentral sebesar 2 persen.
Baca juga: Rupiah Tembus Rp 16.240, Terbuka Dua Opsi Kebijakan Moneter
Selain itu, pelemahan rupiah juga semakin dibayangi oleh tensi geopolitik di kawasan Timur Tengah pascapenyerangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/4/2024). Pelemahan rupiah itu terjadi beriringan dengan depresiasi hampir seluruh mata uang negara-negara akibat sentimen risk-off yang menguat di pasar dan permintaan akan aset safehaven seperti dollar AS yang semakin meningkat.
Dari sisi internal atau domestik, melemahnya rupiah terhadap dollar juga dipicu oleh faktor atau pola musiman di mana pembayaran dividen dan kupon ke non-resident serta pembayaran pokok utang luar negeri akan meningkat setiap kuartal kedua di tiap tahun.
Efek domino
Kendati pelemahan nilai tukar rupiah dinilai masih terkendali dan tidak terlalu membahayakan seperti mata uang negara-negara lain, situasi kenaikan nilai tukar dollar AS tetaplah berisiko. Pelemahan rupiah yang menembus level psikologis bisa memicu sentimen negatif yang bakal kian menekan rupiah.
Secara garis besar, ada sejumlah efek domino yang terjadi ketika nilai tukar rupiah turun. Di kalangan dunia usaha, mereka mencemaskan pelemahan rupiah ini berdampak pada daya saing mereka, terutama yang bergerak di sektor manufaktur.
Pengalaman di banyak negara membuktikan, ketika terjadi pelemahan mata uang, maka konsekuensinya sejumlah industri seperti industri makanan-minuman, industri tekstil, dan sejenisnya akan terdampak. Kenaikan nilai mata uang dollar AS, misalnya, secara langsung akan menyebabkan harga bahan baku ikut terkatrol naik.
Di Indonesia, kebutuhan bahan baku produksi industri makanan-minuman sebagian besar masih impor. Ketika harga bahan baku naik, biaya produksi akan ikut meningkat. Konsekuensinya harga jual produk ikut naik, bahkan pada tingkat yang tidak lagi kompetitif di pasar.
Di samping itu, pelemahan rupiah dan kenaikan nilai tukar mata uang dollar AS cepat atau lambat akan menyebabkan terjadinya kenaikan biaya logistik. Untuk proses pengiriman produk, sudah tentu akan terjadi kenaikan biaya transportasi. Untuk produk yang diekspor ke luar negeri, niscaya mereka harus membayar biaya transportasi lebih mahal.
Penguatan dollar AS tersebut juga memberikan tekanan pada neraca perdagangan Indonesia. Barang ekspor Indonesia yang diukur dalam dollar AS akan menjadi lebih mahal bagi negara-negara importir sehingga dapat mengurangi permintaan internasional. Jika permintaan ekspor menurun, maka dapat berdampak negatif pada neraca perdagangan nasional, semakin memperlemah kurs rupiah lebih dalam lagi, dan pada akhirnya mengurangi pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Rupiah Anjlok 303 Poin, Dampak pada Daya Saing Industri Jadi Perhatian
Efek domino pelemahan rupiah tak pelak juga akan menurunkan permintaan dan daya beli masyarakat Indonesia. Selama ini banyak kasus membuktikan, jika nilai mata uang terdepresiasi, kenaikan harga produk impor dapat meningkatkan inflasi lokal. Depresiasi mata uang dapat meningkatkan inflasi karena harga barang impor menjadi lebih mahal. Kenaikan harga barang impor ini berpotensi menyebar ke sektor lain dalam perekonomian.
Tak hanya inflasi, efek domino dari pelemahan rupiah terhadap dollar AS juga berpotensi meningkatkan jumlah dan kewajiban pemerintah ataupun swasta dalam membayar utang. Terjadinya depresiasi mata uang rupiah niscaya akan membuat beban pembayaran utang menjadi lebih mahal.
Depresiasi rupiah juga bisa berpotensi meningkatkan risiko kredit karena perusahaan yang memiliki utang dalam dollar akan menghadapi biaya layanan utang yang lebih tinggi dalam rupiah. Hal itu akan menyulitkan korporasi ataupun pemerintah dalam membayar kembali utang-utang luar negeri.
Sebagai informasi, saat ini jumlah utang luar negeri Indonesia pada Februari 2024 tercatat sebesar 407,3 miliar dollar AS atau senilai Rp 6.629 triliun (asumsi kurs Rp 16.280). Dari jumlah itu, posisi utang luar negeri pemerintah tercatat sebesar 194,8 miliar dollar AS atau Rp 3.170 triliun, sedangkan utang luar negeri swasta tercatat di kisaran 197,4 miliar dollar AS.
Berdasarkan sektor ekonomi, utang luar negeri swasta terbesar berasal dari sektor industri pengolahan; jasa keuangan dan asuransi; pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin; serta pertambangan dan penggalian dengan pangsa utang mencapai 78,3 persen dari total utang luar negeri swasta.
Sementara itu, per akhir Maret 2024, posisi cadangan devisa Indonesia tercatat 140,4 miliar dollar AS atau turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 144,0 miliar dollar AS. Cadangan devisa tersebut setara pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor ditambah dengan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Dengan kata lain, cadangan devisa masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Di sisi investasi, penguatan dollar juga dapat memengaruhi aliran investasi asing ke Indonesia. Investor asing berpotensi mencari keuntungan dari perbedaan suku bunga dan perbedaan nilai tukar mata uang. Ketika dollar menguat, investor asing berpotensi menarik investasi mereka dari pasar emerging seperti Indonesia untuk berinvestasi di aset berdenominasi dollar yang memberikan pengembalian lebih baik. Hal ini bisa berdampak pada modal keluar dari Indonesia yang bisa menyebabkan depresiasi lebih lanjut pada rupiah dan menurunkan harga saham dan obligasi di pasar keuangan lokal.
Langkah kebijakan
Menghadapi pelemahan rupiah tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mengatur kebijakan moneter di Indonesia menyatakan akan menjaga stabilitas rupiah dalam mengantisipasi dampak dari ketidakpastian penurunan suku bunga kebijakan Amerika Serikat atau Fed Fund Rate dan ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan melakukan sejumlah langkah penting untuk menjaga kestabilan rupiah seusai libur Lebaran serta di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah dan dinamika perkembangan perekonomian AS. Gubernur BI memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga dengan intervensi valuta asing dan langkah-langkah lain yang diperlukan.
Baca juga: Selamatkan Rupiah, Eksportir Diminta Lebih Maksimal Simpan Dollar di Dalam Negeri
Adapun sejumlah upaya yang dilakukan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah antara lain dengan menjaga keseimbangan supply-demand valuta asing di pasar melalui intervensi rangkap tiga atau triple intervention khususnya di spot dan domestic non-deliverable forward.
Selain itu, BI juga akan melakukan pengelolaan aliran portofolio asing yang ramah pasar, termasuk operasi moneter yang promarket dan terintegrasi dengan pendalaman pasar uang guna mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia. BI juga akan meningkatkan daya tarik aset rupiah untuk mendorong aliran modal masuk asing atau capital inflow seperti lewat daya tarik Sekuritas Rupiah Bank Indonesia dan hedging cost.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan agar badan usaha milik negara menahan diri dalam melakukan pembelian dollar dalam jumlah besar untuk keperluan impor atau pembayaran utang guna menghindari tekanan tambahan pada rupiah. Eksportir sumber daya alam juga diingatkan untuk mematuhi aturan repatriasi pendapatan dollar untuk menopang cadangan devisa negara. (LITBANG KOMPAS)