Emisi Karbon Pertanian Perkotaan Enam Kali Lipat dari Pertanian Konvensional
Pertanian perkotaan yang minim perencanaan akan menyumbang emisi karbon lebih besar dibandingkan pertanian konvensional.
Oleh
YOESEP BUDIANTO
·5 menit baca
Pertanian perkotaan menjadi salah satu solusi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan berketahanan pangan. Sayangnya, implementasi budidaya perkotaan yang lemah hanya akan menyumbang emisi karbon jauh lebih besar dibandingkan pertanian konvensional. Pada Hari Bumi 22 April kemarin, kita diingatkan kembali untuk melestarikan lingkungan demi masa depan.
Kegiatan berkebun di rumah menjadi primadona masyarakat perkotaan semenjak masa pandemi COVID-19, khususnya sepanjang periode 2020 hingga 2022. Aktivitas masyarakat terkonsentrasi di rumah karena pembatasan mobilitas oleh pemerintah. Karena itu, banyak orang memutuskan berkebun di rumah, baik itu sekadar untuk hobi maupun untuk mencukupi kebutuhan pangan harian mereka.
Konsep pertanian ini sangat cocok bagi masyarakat perkotaan yang memiliki lahan sangat terbatas. Masyarakat juga bisa lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya pada masa-masa krisis atau saat terjadi kenaikan harga sayuran di pasar. Pertanian perkotaan juga dianggap sebagai solusi penanggulangan polusi udara perkotaan.
Konsentrasi penduduk di perkotaan juga diproyeksikan meningkat hingga beberapa dekade ke depan. Pada tahun 2050 nanti, hampir 70 persen populasi dunia diperkirakan tinggal di wilayah perkotaan. Karena itu, pemenuhan kebutuhan pangan individu dan komunitas perlu menjadi perhatian dalam pembangunan kawasan perkotaan.
Secara nasional, hasil sensus pertanian 2023 menyebutkan bahwa saat ini ada 13.019 unit pertanian perkotaan. Provinsi dengan jumlah terbanyak adalah Jawa Barat, yaitu 3.231 unit atau 24,8 persen dari total keseluruhan. Wilayah di Jabar yang menjadi konsentrasi pertanian perkotaan adalah Kabupaten Bogor (634 unit). Strategi pengembangan yang dilakukan wilayah Bogor ini adalah pemanfaatan lahan secara optimal dengan orientasi pemenuhan kebutuhan domestik dan pasar.
Beragam manfaat pertanian perkotaan tentu mendukung pembangunan wilayah secara berkelanjutan. Namun, ada catatan khusus dalam implementasi konsep pertanian perkotaan ini. Analisis dampak lingkungan dari pertanian perkotaan ternyata jauh lebih besar daripada pertanian konvensional. Bahkan, dalam takaran tertentu justru meningkatkan emisi karbon berkali lipat dan memperburuk perubahan iklim.
Sebuah studi yang dilakukan Jason K Hawes, dkk (2024) menunjukkan bahwa emisi karbon dari sayuran yang disajikan dari pertanian perkotaan enam kali lebih besar dari pertanian konvensional. Studi ini dilakukan terhadap 73 pertanian perkotaan di Eropa dan Amerika Serikat yang mencakup seluruh proses produksi tanaman. Komoditas yang dianalisis mencakup seluruh jenis buah-buahan dan sayuran yang ditanam di lahan pertanian perkotaan, seperti tomat, wortel, kentang, dan selada.
Emisi karbon yang dikeluarkan dari aktivitas pertanian perkotaan perlu dikendalikan. Penelitian yang dilakukan Jason dan peneliti lainnya mengungkap masifnya emisi karbon dari pertanian perkotaan yang dilakukan dengan teknologi rendah. Pengertian teknologi rendah adalah minimnya implementasi keberlanjutan oleh pemilik lahan pertanian di kota, mulai dari keberlanjutan infrastruktur, pengolahan limbah, hingga pemberian manfaat sosial bagi orang sekitar.
Emisi karbon berlebih
Praktik pertanian di perkotaan menyumbang emisi karbon hingga enam kali lipat lebih besar dibandingkan pertanian konvensional. Hasil penelitian Jason dan peneliti lain menyebutkan emisi karbon untuk satu porsi makanan dari pertanian konvensional mencapai 0,07 kilogram karbon dioksida (CO2). Sementara itu, untuk satu porsi makanan dari pertanian perkotaan menghasilkan 0,42 kilogram CO2.
Apabila didetailkan ke enam komoditas pertanian, yaitu kacang-kacangan, wortel, selada, bawang putih, kentang, dan tomat, jumlah emisi karbon pertanian perkotaan terpantau sangat tinggi. Untuk satu kilo penyajian kacang-kacangan, pertanian perkotaan menyumbang hingga 0,48 kilogram CO2, sedangkan pertanian konvensional hanya 0,06 kilogram CO2.
Timpangnya perbandingan emisi karbon dioksida antara pertanian perkotaan dan konvensional itu juga terjadi untuk komoditas wortel yang berbanding 0,46 kilogram CO2 dengan 0,04 kilogram CO2. Untuk selada juga demikian, yakni 0,4 kilogram CO2 pada pertanian perkotaan dengan 0,05 kilogram CO2 pada pertanian konvensional. Selanjutnya, untuk bawang putih dengan perbandingan 0,5 kilogram CO2 dengan 0,05 kilogram CO2; kentang 0,65 kilogram CO2 dengan 0,04 kilogram CO2; dan tomat 0,45 kilogram CO2 dengan 0,25 kilogram CO2.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan pertanian konvensional menghasilkan emisi karbon jauh lebih rendah. Pertama, pengolahan lahan telah dilakukan secara berkelanjutan oleh petani sehingga takaran air dan pupuk lebih efisien dibandingkan praktisi pertanian perkotaan yang cenderung otodidak. Kedua, pertanian konvensional tidak membutuhkan banyak instrumen keteknikan yang malah menyumbang emisi, seperti semen dan mesin sirkulasi udara untuk pertanian sistem rumah kaca.
Ketiga, pertanian konvensional sudah memiliki mekanisme pengelolaan limbah lahan pertanian, seperti untuk pupuk kompos. Sementara itu, pertanian perkotaan belum sampai pada skema pengelolaan limbah sehingga cenderung hanya akan dibuang ke tempat sampah. Terakhir, sirkulasi produk pertanian konvensional akan lebih bisa diserap pasar dan mengurangi sampah sayuran atau buah. Untuk pertanian perkotaan cenderung untuk konsumsi pribadi dan minim terserap pasar dalam skala besar.
Oleh sebab itu, perencanaan pertanian perkotaan perlu dilakukan secara utuh, mulai dari sisi perencanaan infrastruktur hingga manajemen produk pertanian yang dihasilkan. Pertanian perkotaan yang ramah iklim bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Keberadaan tumbuhan hijau di tengah perkotaan juga mampu mendukung tujuan akhir dari pengurangan polusi udara.
Pertanian ramah iklim
Penggunaan teknologi ramah lingkungan menjadi solusi terbaik untuk mewujudkan pertanian perkotaan yang rendah emisi karbon. Berdasarkan hasil penelitian Jason dan peneliti lainnya, 63 persen emisi karbon ditentukan oleh teknologi dan infrastruktur yang digunakan. Salah satu langkah penyediaan teknologi yang dapat dilakukan adalah penggunaan panel surya untuk mencukupi kebutuhan listrik.
Pemanfaatan barang bekas juga mampu mendukung pembangunan pertanian perkotaan yang berkelanjutan. Saat ini banyak alternatif teknologi dan infrastruktur untuk pengembangan pertanian. Artinya, tidak hanya menciptakan lingkungan yang lebih baik, teknologi dan infrastruktur yang ramah iklim mampu memperkuat sirkulasi ekonomi di level domestik dan komunitas.
Menciptakan pertanian ramah iklim di kawasan perkotaan juga dapat dilakukan melalui pemanfaatan limbah perkotaan dan sebaliknya. Pengolahan limbah mampu menurunkan emisi karbon hingga 52 persen dalam praktik pertanian perkotaan. Salah satu limbah yang dapat digunakan adalah limbah makanan untuk pupuk kompos. Dalam implementasi, limbah makanan mampu menggantikan 95 persen pupuk kimia untuk tanaman.
Pemanfaatan air hujan untuk irigasi pertanian perkotaan turut menjadi langkah yang strategis dalam pengelolaan sumber daya air. Apabila suplai air masih menggunakan air tanah secara total, emisi karbon yang lepas dari proses pengambilan air tanah (pengerukan, pemompaan, dan distribusi) akan meningkat hingga 83 persen.
Konsep pertanian perkotaan adalah solusi ketahanan pangan di era pemanasan global saat ini. Dinamika atmosfer berdampak pada ketersediaan air dan kejadian ekstrem yang mampu mengganggu rantai distribusi pangan. Akan tetapi, mengingat besarnya emisi karbon yang dilepas dari pertanian perkotaan, maka dibutuhkan adaptasi teknologi dan pengelolaan limbah yang berkelanjutan. Perencanaan yang matang dan pemanfaatan teknologi yang tepat guna diharapkan mampu mereduksi emisi karbon yang dihasilkan oleh pertanian perkotaan. Dengan demikian, ketahanan pangan dapat meningkat, tetapi emisi karbon dioksida dapat terus ditekan sehingga kelestarian lingkungan dapat terus terjaga. (LITBANG KOMPAS)