Refleksi Peringatan Hari Bumi untuk Penyelamatan Lingkungan
Saat ini Bumi sedang menghadapi ancaman keruntuhan ekosistemnya karena pemanasan global yang kian tak terbendung.
Peringatan Hari Bumi Internasional adalah momen pengakuan bahwa Bumi dan seluruh ekosistemnya merupakan rumah bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Sayangnya, saat ini Bumi sedang menghadapi ancaman keruntuhan ekosistemnya karena pemanasan global yang makin tak terbendung.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tanggal 22 April sebagai Hari Bumi Internasional melalui resolusi bersama yang diadopsi pada tahun 2009 silam. Tujuan utamanya adalah menghentikan kerusakan ekosistem dan meningkatkan penghidupan masyarakat luas.
Pada dekade ini, peringatan Hari Bumi menyasar pada perlawanan terhadap perubahan iklim. PBB menyadari bahwa kerusakan Bumi saat ini diekskalasi oleh aktivitas manusia, mulai dari penggundulan hutan, peningkatan pencemaran dan polusi, hingga industrialisasi masif yang meningkatkan emisi karbon secara global.
Kondisi Bumi mengarah pada perburukan-perburukan karena krisis iklim. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan, era pemanasan global telah berakhir dan era pendidihan global telah tiba pada Juli 2023 lalu. Kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celsius hanya bisa dicegah melalui aksi iklim radikal oleh negara-negara di seluruh dunia yang menyasar pada sumber utama emisi karbon.
Era pendidihan global menandai penurunan laten daya dukung Bumi terhadap makhluk hidup. Penyebab terbesarnya adalah pembakaran bahan bakar fosil. Sumber pembakaran bahan bakar fosil terdiri dari batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Lembaga Global Carbon Project (GCP) menunjukkan emisi terbesar berasal dari China, disusul Amerika Serikat, India, dan kawasan Uni Eropa.
Baca juga: Pertanian Alami Lindungi Ekosistem dan Jaga Keberlanjutan Bumi
Kenaikan suhu global ternyata terus berlangsung tanpa ada tanda-tanda penurunan. Laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) State of the Global Climate 2023 menunjukkan, tahun 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat sepanjang sejarah manusia. Rata-rata suhu global di permukaan Bumi mencapai kenaikan 1,45 derajat celsius.
Seluruh indikator pengamatan iklim global mencatatkan rekor, mulai dari tingkat gas rumah kaca, suhu permukaan, panas dan pengasaman laut, kenaikan permukaan laut, serta penyusutan gletser. Alhasil, kejadian gelombang panas, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan badai tropis meningkat drastis dan dengan cepat menyebakan kesengsaraan bagi manusia.
Sebuah laporan penelitian berjudul ”The 2023 state of the climate report: Entering uncharted territory” mengungkap bahwa kondisi Bumi jauh lebih buruk dibandingkan masa-masa sebelumnya. Dalam laporan tersebut, tercatat 20 dari 35 indikator kesehatan Bumi berada di kondisi ekstrem atau melampaui batasan kenyamanan bagi makhluk hidup.
Rekor indikator iklim
Pantauan tiga gas utama penyebabkan krisis iklim menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan periode pra-industrialisasi. Saat ini konsentrasi karbondioksida mencapai 417,9 ppm; gas metana sebesar 1.923 ppb; dan gas nitrodioksida sebesar 335,8 ppb. Ketiganya mengalami kenaikan secara berurutan sebesar 150 persen, 264 persen, dan 124 persen dibandingkan periode pra-industrialisasi.
Konsentrasi berlebih tiga senyawa gas tersebut mendorong kenaikan suhu hingga 1,45 derajat celsius pada tahun 2023, mengalahkan tahun 2016 (1,29 derajat celsius) dan tahun 2020 (1,27 derajat celsius). Angka tersebut menandakan bahwa 2023 menjadi tahun terpanas sepanjang 174 tahun pengamatan suhu Bumi.
Sayangnya, perubahan iklim bukan sekadar persoalan kenaikan suhu permukaan Bumi. Dampak dari kondisi tersebut adalah pemanasan laut yang belum pernah terjadi sebelumnya, demikian pula penyusutan gletser dan menipisnya es di laut Antartika. Pantauan WMO menyebutkan, hampir sepertiga lautan global dilanda gelombang panas yang memusnahkan banyak biota laut.
Baca juga: Suhu Global Lebih Panas Berarti Harga Pangan dan Inflasi Lebih Tinggi
Penyusutan gletser juga tak dapat dihindari. Kehilangan gletser terjadi secara masif bahkan menjadi yang terbesar yang pernah tercatat sejak tahun 1950. Saat ini rata-rata luasan gletser hanya 1 juta kilometer persegi atau setara luas Perancis dan Jerman. Kondisi tersebut menyebabkan kenaikan rata-rata muka air laut di dunia.
Sepanjang periode 2014 hingga 2023, rata-rata muka air laut meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan periode 1993-2002. Laporan WMO menjelaskan bahwa dua dekade lalu, tinggi muka air laut di dunia sebenarnya telah naik sebesar 2,13 mm per tahun. Sementara saat ini kenaikannya telah mencapai 4,77 mm per tahun.
Bencana katastropik
Berkaca pada sejumlah kejadian cuaca ekstrem sepanjang tahun 2023, umat manusia memang harus siap dengan berbagi hal tak terduga di tahun-tahun mendatang. Kejadian cuaca ekstrem yang baru saja terjadi dan mengagetkan masyarakat dunia adalah hujan ekstrem di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 15 April 2024 kemarin.
Hujan ekstrem di Dubai disebut sebagai peristiwa cuaca bersejarah yang melampaui data apa pun yang pernah tercatat sejak tahun 1949. Tak hanya Dubai, hujan deras juga turun di Bahrain, Oman, Qatar, dan Arab Saudi. Sejumlah kerugian ekonomi dan korban jiwa dilaporkan dari negara-negara tersebut.
Apabila ditarik mundur pada tahun 2023, suhu panas ekstrem terjadi di kawasan Asia Selatan, China, dan Asia Tenggara yang menyebabkan banyak kematian dan dehidrasi ekstrem masyarakat. Pada periode yang sama, kebakaran hebat terjadi di kawasan Kanada yang menghanguskan 10 juta hektar hutan dan memaksa 30.000 orang untuk mengungsi.
Gelombang panas pada Juni-Agustus 2023 di Amerika Serikat bahkan menewaskan 147 orang. Sementara di kawasan Negara Bagian Hawaii, kebakaran di Pulau Maui menelan korban jiwa hingga 111 orang. Peningkatan suhu ekstrem di sejumlah negara menjadi penanda kuat anomali iklim yang makin mengerikan.
Baca juga: Dampak Nyata Pemanasan Global
Selain bencana alam, dampak terbesar dari krisis iklim adalah kelaparan. Laporan WMO menyebutkan, jumlah manusia yang mengalami kerawanan pangan akut di seluruh dunia meningkat dua kali lipat dibandingkan saat sebelum pandemi Covid-19. Pada kurun 2018-2019, total 149 juta orang terancam kelaparan dan pada tahun 2023 jumlahnya meningkat ke angka 333 juta jiwa.
Kelaparan yang terjadi adalah dampak dari anomali iklim yang menyebabkan sejumlah kawasan kekeringan dan kebanjiran. Akibatnya, terjadi penurunan produksi lahan pangan, bahkan gagal panen dalam skala besar. Hal tersebut berimbas pada kenaikan harga komoditas pangan yang akhirnya sangat sulit diakses oleh masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi bawah.
Kejadian cuaca ekstrem dan sulitnya akses ke pangan mendorong munculnya gelombang migrasi besar-besaran di seluruh dunia. Jutaan orang terpaksa harus pindah dari tempat tinggalnya untuk mencari perlindungan dan kelayakan hidup. Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menegaskan, penanganan pengungsi menjadi bagian tak terpisahkan dalam manajemen kebencanaan dan krisis.
Peringatan Hari Bumi Internasional adalah momen refleksi bagi semua pihak untuk lekas mengambil tindakan radikal agar kerusakan ekosistem di Bumi tidak berlanjut. Apabila kerusakan terus dibiarkan, pertaruhan terbesarnya adalah kebinasaan segenap makhluk hidup di seluruh alam raya ini. (LITBANG KOMPAS)