Mewaspadai Kebangkitan Semangat Sepak Bola Irak
Sepak bola menjadi salah satu kekuatan untuk membawa persatuan serta perdamaian di Irak.
Irak telah menjadikan sepak bola sebagai kekuatan utama menghadapi segala rintangan dan membawa persatuan serta perdamaian bagi bangsanya.
Kamis (2/5/2024) malam akan menjadi momen pertaruhan Tim Sepak Bola Indonesia U-23 mengamankan tiket emas menuju Olimpiade Paris 2024. Setelah kalah melawan Uzbekistan, kesempatan berikutnya bagi Indonesia adalah melawan Irak untuk memperebutkan juara ketiga Piala Asia U-23 2024.
Irak bukanlah lawan yang mudah bagi Indonesia. Sejak pertama kali bertemu pada 1968, tim ”Garuda” tercatat telah 13 kali bertarung melawan tim ”Singa Mesopotamia”. Dari pertemuan itu, Indonesia baru dua kali menaklukkan Irak, tiga kali menahan imbang, dan delapan kali menelan kekalahan. Secara total, Irak mampu menyarangkan 27 gol ke gawang Indonesia, sedangkan Indonesia hanya mampu membalas 11 gol ke gawang Irak.
Pertemuan perdana pada 16 Januari 1968 rupanya sekaligus menjadi momen kemenangan pertama Indonesia menghadapi Irak. Waktu itu, Indonesia menekuk Irak dengan skor 2-1 pada ajang kualifikasi Olimpiade Meksiko 1968 (Kompas.id, 29/12/2023). Namun, kemenangan perdana itu sekaligus menjadi yang terakhir untuk 32 tahun berikutnya. Indonesia baru bisa kembali mengalahkan Irak pada 2 September 2000 dalam pertandingan final Piala Kemerdekaan dengan skor 3-0.
Selain dari rekaman pertemuan, keunggulan Irak atas Indonesia juga tampak jelas dari peringkat FIFA. Per 4 April 2024, Irak menempati peringkat ke-58 dengan 1.420 poin. Sementara itu, Indonesia bertengger di posisi ke-134 dengan 1.102 poin. Raihan terbaik Irak sepanjang sejarah adalah menempati peringkat ke-39 pada Oktober 2004. Sementara puncak peringkat Indonesia tertahan di posisi ke-76 yang diperoleh pada September 1998.
Baca juga: ”Garuda Muda”, Jangan Lagi Berujung Penyesalan
Inggris membangun fondasi
Kekuatan persepakbolaan Irak di kancah internasional tidak bisa dilepaskan dari fondasi kuat yang telah terbangun selama lebih dari 100 tahun. Hassanin Mubarak, penulis buku Birth of the Lions of Mesopotamia: The early years of football in Iraq, menjelaskan bahwa sejarah sepak bola modern di Irak telah dimulai sejak Perang Dunia I berakhir pada 1918.
Kala itu, Irak yang baru saja dibebaskan dari penjajahan Turki Ottoman berada di bawah kendali Inggris selaku pelaksana mandat Liga Bangsa-Bangsa. Inggris lalu membangun sejumlah pangkalan udara untuk kepentingan pengamanan wilayah Irak yang meliputi Provinsi Mosul, Baghdad, dan Basra.
Selain menegakkan keamanan, tentara Inggris juga bertugas menjadi fasilitator dan instruktur bagi pasukan keamanan Irak yang baru saja terbentuk. Di sisi lain, tentara Inggris membawa hobi sepak bola dari kampung halaman ke dalam rutinitas harian mereka di pangkalan di Irak. Interaksi yang intens dengan tentara Inggris akhirnya membuat pasukan keamanan Irak juga mulai menggandrungi olahraga yang dimainkan mentornya tersebut.
Mubarak menyebutkan, klub sepak bola pertama dan tertua di Irak, yakni Al-Quwa Al-Jawiya (berarti Angkatan Udara), didirikan oleh sekelompok polisi udara Irak di pangkalan udara Hinaidi. Klub tersebut diresmikan pada 4 Juli 1931 dan hingga kini masih menjadi tim papan atas di liga primer Irak. Pertandingan pertama Al-Jawiya diwarnai dengan kemenangan melawan tim pangkalan udara lain yang terdiri dari tentara Inggris. Kemenangan atas sepasukan Inggris tersebut akhirnya mendongkrak popularitas klub tersebut dan sekaligus sepak bola di tengah masyarakat luas Irak.
Selain melalui pangkalan militer, Inggris ternyata juga membangun fondasi persepakbolaan Irak melalui institusi pendidikan. Hal ini terutama ditempuh melalui pendidikan jasmani di sekolah-sekolah Irak. Mubarak menjelaskan, para perwira Inggris yang ditunjuk menjadi penyelia pendidikan Irak kerap melatih sepak bola secara langsung, bahkan memberikan jersei secara cuma-cuma kepada para murid Irak.
Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa Kementerian Pendidikan Irak pada kurun waktu 1930-1940 juga kerap merekrut pelatih dan guru olahraga dari Eropa untuk melatih murid-murid Irak. Salah satu yang cukup ternama adalah George Sidney Reynor, pelatih sepak bola profesional asal Inggris yang berhasil membawa Swedia meraih medali emas Olimpiade 1948 dan melaju ke babak final Piala Dunia 1958.
Baca juga: Puji Semangat Tim U-23, Presiden Optimistis ”Garuda Muda” Melaju ke Olimpiade Paris
Berdirinya Asosiasi Sepak Bola Irak pada 1948 seakan membukakan pintu bagi Irak untuk menorehkan kiprahnya di kancah persepakbolaan dunia. Sejak 1954, sejumlah pemain tim nasional Irak telah menarik perhatian klub-klub Eropa. Youra Eshaya menjadi pesepak bola Irak pertama yang direkrut untuk bermain di luar negeri. Ia bermain dari tahun 1954 hingga 1955 untuk Bristol Rovers FC untuk menguatkan tim kelas tiganya dan sebagai cadangan.
Dengan pemain berpengalaman di kancah internasional, pelatihan disiplin ala militer, dan pendidikan keolahragaan yang tersistem, persepakbolaan Irak akhirnya mampu mendominasi Timur Tengah. Sejak 1964, Irak empat kali menjuarai Piala Arab FIFA dan empat kali juara Piala Teruk Arab. Tak hanya itu, prestasi gemilang sepak bola Irak juga meluas ke tingkat benua. Ini dibuktikan melalui raihan medali emas medali emas pada Asian Games 1982. Kesuksesan sepak bola Irak semakin lengkap dengan berhasil lolos kualifikasi Piala Dunia Meksiko 1986.
Titik nadir persepakbolaan Irak
Meski prestasinya tampak gemilang, persepakbolaan Irak sejatinya pernah berada di titik nadir. Semua berawal ketika diktator Irak, Saddam Hussein, mengangkat anak sulungnya, Uday Hussein, sebagai presiden Komite Sepak Bola Irak dan Komite Olimpiade Nasional Irak pada 1984.
Dalam buku Baghad FC: Iraq’s Footbal Story, a Hidden History of Sport and Tyranny karya Simon Freeman, Uday disebutkan sangat korup dan kejam terhadap para atlet. Banyak bukti menunjukkan bahwa atlet-atlet Irak, termasuk pesepak bola, kerap ditahan dan disiksa selama berhari-hari apabila gagal memberikan hasil yang memuaskan.
Sharar Haydar, bek tim nasional Irak, mengaku pernah disiksa dengan cara dipukul kakinya sebanyak 20 kali setiap hari. Ia juga hanya boleh minum segelas air dan makan sepotong roti. Ia menceritakan bahwa dirinya pertama kali disekap oleh Uday pada 1993 setelah Irak kalah 2-0 terhadap Jordania. Haydar akhirnya memutuskan untuk kabur dari Irak pada 1998.
Seorang mantan pelatih voli Irak, Issam Thamer al-Diwan, mengatakan, Uday sangat membenci atlet karena mereka lebih dicintai dan dikenal oleh rakyat Irak daripada dirinya. Prestasi-prestasi gemilang pesepak bola Irak pun dengan demikian bukan lagi didorong oleh semangat sportivitas dan kecintaan pada olahraga, tetapi semata-mata tuntutan untuk bertahan hidup. Di bawah rezim Uday, kekalahan berarti siksaan, atau bahkan kematian, bagi para atlet.
Baca juga: Tanpa Rizky Ridho, Indonesia U-23 Kehilangan Besar Saat Lawan Irak
Persepakbolaan Irak semakin jatuh ke dalam jurang yang gelap dengan berkecamuknya perang Irak-Iran pada medio 1980-1988. Hanya dua tahun berselang, Irak kembali dilanda konflik hebat dengan meletusnya Perang Teluk melawan koalisi pimpinan Amerika Serikat pada 1990-1991. Puncak konflik yang mendera Irak terjadi pada 2003 dengan invasi Amerika Serikat yang berujung pada lengsernya Saddam Hussein.
Namun, di balik puing peperangan, invasi Amerika Serikat tersebut rupanya membuka celah terhadap datangnya perubahan bagi persepakbolaan Irak. Pada Juli 2003, Uday, bersama adiknya, Qusay Hussein, tewas dalam sebuah serbuan tentara Amerika Serikat. Dengan demikian, berakhirlah rezim teror yang menghantui atlet-atlet Irak selama kurang lebih dua dekade lamanya.
Meski Saddam Hussein berhasil ditumbangkan, tidak berarti Irak serta-merta dapat menikmati situasi politik dan sosial yang stabil. Banyak kelompok lantas memanfaatkan kekosongan kekuasaan untuk berebut pengaruh atas Irak. Tak pelak, konflik sektarian pun meletus di berbagai penjuru negeri. Puncak konflik terjadi sepanjang 2006-2008. Terjadi perang saudara antara kelompok Sunni dan Syiah.
Mukjizat di Jakarta
Dalam konteks situasi serbakacau dan tidak pasti itulah persepakbolaan Irak mendapat ujian hingga ke titik terberatnya. Ali al-Shouk, reporter senior The National asal Irak, menuturkan, banyak pemain timnas sepak bola Irak kehilangan anggota keluarga dalam konflik sektarian tersebut. Bahkan, pemain sayap Irak, Hawar Mullah Mohammed, mengaku harus membawa senapan mesin saat hendak berangkat latihan demi alasan keamanan.
Dengan terseok-seok, timnas Irak tetap berusaha mengikuti kompetisi Piala Asia AFC 2007 yang kala itu diselenggarakan secara kolaboratif di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Jorvan Vieira, pelatih asal Brasil, ditunjuk hanya dua bulan sebelum turnamen berlangsung. Ia harus menghadapi kondisi pemain yang secara mental tengah hancur. Banyak pihak bahkan menyebut Irak sebagai ”tim tanpa harapan”. Meski sangat berat, Vieira secara tekun berusaha mempersatukan antaranggota tim dan menggelorakan semangat mereka meraih juara.
Hasilnya, Irak secara perlahan tapi pasti mengalahkan satu per satu lawan-lawannya. Kemenangan 3-1 atas Australia menjadi momentum awal kebangkitan harapan rakyat Irak menyaksikan perjalanan tim nasionalnya menuju puncak. Tim ”Singa Mesopotamia” pun dengan berani melahap Vietnam 2-0 di perempat final dan menerkam Korea Selatan melalui adu penalti di semifinal.
Baca juga: Asa dan Doa Warga Palembang bagi ”Garuda Muda” untuk Tembus Olimpiade 2024
Menjelang laga final, rakyat Irak yang tengah bersukacita dikejutkan dengan serangan bom bunuh diri di Baghdad yang menewaskan 50 warga sipil dan melukai 135 lainnya. Aparat keamanan mengatakan, serangan itu menyasar massa yang tengah merayakan kemenangan Irak di jalanan. Mendengar kabar duka itu, sebagian anggota tim merasa urung untuk meneruskan kompetisi karena khawatir terhadap serangan yang lebih mematikan di kampung halaman.
Namun, dukungan tanpa henti dari rakyat Irak akhirnya membantu membulatkan tekad para pemain melaju ke babak final. Penantian panjang rakyat Irak akhirnya pecah tatkala sundulan Younis Mahmoud Khalaf di menit ke-72 melesak ke gawang Arab Saudi. Gol semata wayang itu akhirnya menjadi penentu Irak meraih juara Piala Asia untuk pertama kalinya.
Sontak, pada malam 29 Juli 2007, rakyat Irak menanggalkan senjatanya dan hanyut dalam euforia bersama. Sebagaimana komentator Simon Hill mengungkapkan, ”Sepak bola telah berhasil melakukan yang gagal dilakukan politik”, yakni mempersatukan bangsa yang terpecah dan membawa kebahagiaan bagi rakyatnya.
Sejak saat itu, persepakbolaan Irak terus bertransformasi dan berkembang. Sejarah kelam rupanya menjadi katalis penyemangat bagi pemain sepak bola Irak untuk mempersembahkan hasil yang terbaik demi persatuan dan kesatuan bangsanya. Mungkin, ini pula yang diperlukan Indonesia saat ini. Di tengah perpecahan antarkelompok masyarakat dan politisi seusai pemilu yang lalu, semoga sepak bola mampu membawa harapan dan persatuan bagi seluruh rakyat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)