Ironi Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Pendidikan karakter siswa perlu diperkuat untuk meminimalkan terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan.
Tindak kekerasan yang masih terjadi di lingkungan pendidikan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa menjadi tantangan program Merdeka Belajar sebagai sistem pendidikan yang sedang dikembangkan.
Pasalnya, Kurikulum Merdeka yang menitikberatkan pada pengembangan soft skill dan karakter siswa ingin mewujudkan profil pelajar Indonesia yang, selain kompeten dan berkarakter, juga berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila, yaitu religius, sosial, mandiri, patriotisme, kebersamaan, demokratis, dan keadilan.
Penganiayaan oleh siswa taruna senior terhadap taruna yunior di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Cilincing, Jakarta Utara, yang berujung kematian pada Jumat, 3 Mei 2024, menjadi ”tamparan” bagi wajah pendidikan di tengah masih hangatnya peringatan Hari Pendidikan Nasional.
Hanya karena salah menggunakan pakaian olahraga, terjadi insiden yang memilukan hingga Putu Satria Ananta Rastika (19), seorang taruna tingkat I, yang jauh-jauh merantau untuk belajar demi cita-cita, harus meregang nyawa dianiaya kakak tingkatnya.
Tragedi tersebut menambah panjang catatan kelam kekerasan di lembaga pendidikan yang justru seharusnya menjadi tempat aman untuk menuntut ilmu.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2023 telah menerima laporan pengaduan sebanyak 3.877 kasus, di antaranya terdapat 329 kasus laporan pengaduan mengenai kekerasan pada lingkungan satuan pendidikan.
Aduan tertinggi terkait anak korban bullying/perundungan, kekerasan seksual, kekerasan fisik/psikis, kebijakan, serta pemenuhan hak fasilitas pendidikan. Hingga Maret 2024, KPAI telah menerima pengaduan pelanggaran perlindungan anak sebanyak 383 kasus dan 34 persen kasus tersebut terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Sementara itu, sedikitnya ada 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2023 yang terekam pemberitaan media massa dengan total 134 pelaku dan 339 korban yang 19 orang di antaranya meninggal.
Data ini dihimpun Yayasan Cahaya Guru pada 1 Januari-10 Desember 2023 melalui pemantauan pemberitaan media massa tersertifikasi Dewan Pers (Kompas.id, 16/12/2023).
Angka kekerasan yang muncul tersebut berdasarkan kasus yang dilaporkan atau terpantau pemberitaannya di media. Kasus kekerasan di lingkungan pendidikan seperti fenomena gunung es yang kasusnya masih banyak tertutupi dan terabaikan. Kabar kematian korban menjadi pengungkap masih adanya praktik kekerasan itu.
Baca juga: Kekerasan Berujung Kematian Terulang, STIP Dievaluasi
Relasi kuasa
Relasi kuasa senior terhadap yunior kerap kali masih terjadi di sekolah-sekolah kedinasan sebagai warisan turun-temurun.
Arogansi senioritas inilah yang bisa memicu terjadinya tindak kekerasan yang mungkin pada awalnya hanya ingin menunjukkan “kuasa” sebagai senior, tetapi kelewat batas hingga menimbulkan tragedi yang tidak diinginkan. Kekerasan seperti menjadi budaya yang diwariskan.
Dalam catatan Kompas, peristiwa penganiayaan siswa taruna senior terhadap taruna yunior di STIP ini bukan pertama kalinya terjadi.
Agung Bastian Gultom tewas pada Senin (12/5/2008). Taruna tingkat I itu dianiaya para seniornya dalam acara inisiasi pedang pora di barak kampus, Kamar C3 Bawah Ring. Buntut dari kasus tersebut, tiga taruna dikeluarkan dari sekolah, sedangkan tujuh taruna lainnya yang diduga menganiaya sembilan taruna diskors.
Pemberitaan Kompas pada Jumat (25/4/2014) mengabarkan, Dimas Dikita Handoko (20), siswa tingkat II STIP, tewas setelah dianiaya oleh seniornya di sebuah rumah kos di Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, hanya karena dianggap tidak hormat kepada senior. Dalam kasus tersebut, Kepolisian Resor Jakarta Utara menetapkan tujuh taruna senior tingkat II sebagai tersangka.
Tiga tahun berselang, tepatnya pada 11 Januari 2017, peristiwa serupa berulang terjadi. Kasus penganiayaan yang berujung pada kematian kembali terulang. Amirullah Adityas Putra (18), taruna tingkat I bersama lima temannya dipanggil oleh lima taruna senior tingkat II ke salah satu ruangan Dormitory Ring 4, di kompleks STIP.
Kelima senior itu secara bergantian memukuli keenam yuniornya. Korban meninggal setelah dianiaya oleh seniornya dengan pukulan di bagian perut, dada, dan ulu hati.
Pada April 2015 juga terekam terjadinya penganiayaan oleh senior terhadap Daniel Roberto Tampubolon (22) yang dipukuli dan disiksa tujuh seniornya. Lima dari tujuh pelaku kekerasan dipecat, sedangkan dua lainnya diskors selama satu tahun.
Sejumlah insiden di STIP Jakarta yang berulang terjadi menjadi “alarm” bahwa kekerasan di lembaga pendidikan masih ada. Tak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan seksual dan psikis masih menjadi momok. Faktor adanya relasi kuasa membuat korban tak berdaya untuk melawan, bahkan hingga tak berani untuk bersuara.
Baca juga: Kematian Siswa Taruna STIP, Butuh Penanganan Serius Kekerasan di Sekolah
Penguatan pendidikan karakter
Tindakan tegas dan evaluasi pola pengasuhan dan pembelajaran sudah dilakukan pihak STIP, termasuk memasang tulisan yang terpampang di salah satu dinding asrama putra dan di banyak sudut gedung yang berbunyi “Ingat! Sekolah Ini akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan”, atau “Pelaku Tindak Kekerasan/Pemukulan akan Dikeluarkan dari STIP”.
Bahkan, ada pula tugu peringatan atau memorial dengan cat hitam dan putih yang dibangun untuk memperingati kasus penganiayaan berujung kematian yang menimpa Agung Bastian Gultom pada 2008.
Di tahun 2019 juga dibacakan deklarasi antikekerasan yang merupakan wujud pernyataan bahwa seluruh sivitas akademika STIP menolak segala bentuk tindakan kekerasan di dalam area kampus STIP. Namun, kekerasan tetap saja terjadi.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) juga telah memberlakukan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Permendikbud PPKSP tersebut dimaksudkan untuk memperkuat tindak pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dengan memperluas lingkup sasaran ke peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memastikan bahwa warga satuan pendidikan aman dari berbagai jenis kekerasan.
Meskipun beberapa upaya dan payung hukum telah disiapkan untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan, karakter individu dan pola pengasuhan dalam keluarga sejatinya turut memengaruhi tindakan yang dilakukan oleh seseorang karena karakter dapat mengarahkan munculnya perilaku tertentu.
Oleh karena itu, perbaikan kualitas pendidikan tidak hanya menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten, tetapi juga mempunyai karakter yang baik.
Pengarusutamaan karakter menjadi prioritas dalam program Merdeka Belajar. Bahkan pada awal program ini tahun 2020, Ujian nasional diganti dengan asesmen kompetensi minimum (AKM) dan survei karakter.
Terkait pendidikan karakter sebenarnya sudah menjadi perhatian pemerintah sejak kurikulum pertama tahun 1947. Kurikulum yang disebut dengan Rencana Pelajaran 1947 (Leer Plan) antara lain memprioritaskan pendidikan watak.
Sejumlah kurikulum juga menekankan pendidikan karakter ini antara lain, Kurikulum Pembaharuan Kurikulum 1964 yang diberlakukan tahun 1968 dengan salah satu tujuannya adalah membentuk manusia Pancasila sejati.
Kemudian tahun 1994 dengan Penyempurnaan Kurikulum 1984 menyebut tujuan Sistem Pendidikan Nasional seperti menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Terbaru, Kurikulum Merdeka yang menekankan pengembangan soft skill dan karakter.
Karakter siswa menjadi salah satu indikator dalam rapor pendidikan sebagai gambaran kualitas pendidikan Indonesia secara menyeluruh.
Dalam dua kali asesmen nasional yang telah dilakukan, yaitu tahun 2021 dan 2022, hasil penilaian karakter siswa untuk semua jenjang pendidikan menunjukkan peningkatan dan masuk kategori baik. Artinya, sebagian besar murid sudah terbiasa dan secara konsisten menerapkan nilai-nilai profil pelajar Pancasila.
Meskipun menunjukkan peningkatan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengemukakan, berdasarkan hasil asesmen nasional tahun 2021 dan 2022 atau rapor pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4 persen peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan. Selain itu, hingga saat ini anak-anak juga masih rentan menjadi korban perundungan fisik, verbal, relasional, ataupun secara daring (cyberbullying).
Capaian ini menjadi ironi ketika karakter yang tidak menggambarkan nilai-nilai Pancasila dengan tindakan kekerasan yang ditunjukkan di lingkungan pendidikan masih saja terjadi. Memperkuat pendidikan karakter urgen diprioritaskan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kekerasan Berujung Kematian Terulang, STIP Dievaluasi