Jepang-Jerman, Negeri Raksasa Otomotif Kekurangan Mekanik
Robot belum bisa sepenuhnya menggantikan mekanik. Kendaraan yang semakin otomatis sekalipun membutuhkan mekanik.
Jepang dan Jerman dikenal sebagai asal berbagai jenama otomotif global selama puluhan tahun. Ketersediaan mekanik menunjang status itu. Seiring penuaan populasi, kedua raksasa otomotif mulai kesulitan mencari mekanik dan aneka pekerja terampil.
Dilaporkan Kyodonews pada Sabtu (27/4/2024), kesulitan mekanik, antara lain, dirasakan BMW dan Mitsubishi Fuso. Meski tetap berstatus perusahaan Jepang, Mitsubishi Fuso sebenarnya telah menjadi anak perusahaan Daimler Truck. Seperti BMW, Daimler merupakan raksasa otomotif Jerman.
Baca juga: Dijanjikan Kerja Magang di Jerman, Mahasiswa Indonesia Jadi Korban Eksploitasi
Selama puluhan tahun, Fuso menjadi salah satu raja kendaraan komersial di banyak negara. Industri otomotif ditopang, antara lain, oleh ketersediaan mekanik di Jepang.
Kekurangan tenaga terampil menghasilkan berbagai masalah sosial di Jerman dan Jepang. Industri otomotif amat kesulitan.
Kini, seperti halnya industri lain di Jepang dan Jerman, industri otomotif menghadapi kekurangan mekanik dan aneka pekerja terampil. Penyebabnya, mekanik lama semakin banyak pensiun karena usia.
Sementara anak-anak muda enggan jadi mekanik atau pekerjaan lain yang butuh keterampilan fisik. Anak muda menganggap jadi mekanik butuh tenaga dan pekerjaannya kotor. Tidak seperti menjadi pekerja kantoran, khususnya di perusahaan rintisan.
Padahal, tanpa mekanik dan orang-orang dengan keterampilan fisik, banyak hal tidak bisa berjalan. Robot belum bisa sepenuhnya menggantikan mekanik. Kendaraan yang semakin otomatis sekalipun membutuhkan mekanik.
Baca juga: Lagi Butuh Pekerjaan? Pindahlah ke Jerman
Dalam jajak pendapat terhadap 160 perusahaan Jerman di Jepang, 82 persen mengaku kesulitan mendapat tenaga terampil yang masih muda. Karena itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jerman di Jepang berusaha menawarkan solusi. ”Kekurangan tenaga terampil menghasilkan berbagai masalah sosial di Jerman dan Jepang. Industri otomotif amat kesulitan,” kata Wakil Ketua Kadin Jerman di Jepang Lucas Witoslawski.
Kadin Jerman di Jepang berusaha menawarkan solusi atas kekurangan mekanik itu. Caranya, dengan membuat pelatihan calon mekanik untuk para pemuda Jepang. ”Lewat program ini, kami berharap bisa membantu industri,” kata Witoslawski.
Kadin Jerman di Jepang akan memberikan pelatihan tiga tahun kepada anak muda yang mau jadi mekanik. Waktu pelatihan lebih singkat dua tahun dari biasanya.
Dampak kekurangan pekerja amat jelas: pertumbuhan ekonomi melambat karena produktivitas menurun.
Selama pelatihan, peserta akan tetap sekolah sembari magang di berbagai bengkel dan gerai penjualan kendaraan bermotor. Setelah selesai, mereka diharapkan bisa memenuhi kualifikasi sebagai mekanik lalu dijadikan karyawan tetap oleh perusahaan otomotif. Peserta yang telah memenuhi syarat juga akan mendapat sertifikat kompetensi yang diakui Jerman.
Kekurangan pekerja
Seperti Jerman, Jepang juga kekurangan tenaga terampil. Dalam kajian Recruit Works Institute, Jepang akan kekurangan hingga 11 juta pekerja terampil pada 2040. Penuaan jadi penyebab utama kekurangan itu.
Pasar tenaga kerja Jepang akan tetap stabil pada 2022-2040. Walakin, pasokan pekerja berkurang 12 persen. Sebab, orang usia produktif semakin sedikit seiring penurunan angka kelahiran di Jepang.
Sementara Kementerian Tenaga Kerja Jerman menaksir, Jerman akan kekurangan tujuh juta pekerja pada 2035. Hingga 75 persen perusahaan pemasok industri otomotif Jerman kekurangan pekerja dengan skala amat parah.
Baca juga: Makelar Pengurusan Berhenti Kerja Berkembang di Jepang
Berlin mulai merasakan kekurangan pekerja terampil sejak 2021. Pada 2023, kekurangannya semakin parah karena dialami hingga 70 persen perusahaan dari berbagai sektor. ”Dampak kekurangan pekerja amat jelas: pertumbuhan ekonomi melambat karena produktivitas menurun,” demikian disampaikan Kadin Jerman, sebagaimana dikutip Deutsche Welle.
Asosiasi industri digital Jerman, ZVEI, menyebut 40 persen perusahaan di sektor itu harus berebut pekerja terampil. Industri semikonduktor paling terpukul oleh kekurangan pekerja.
Berlin menyiasati kekurangan itu dengan dua cara. Pertama, membuka pelatihan dan sekolah vokasi. Kedua, mengundang para pekerja terampil dari luar negeri.
Ada 320 jenis keterampilan disediakan pelatihannya oleh Berlin. Pemerintah menggandeng perusahaan swasta untuk menyediakan pelatihan bagi calon pekerja atau peserta pendidikan vokasi.
Baca juga: Perusahaan-perusahaan Besar Jepang Ramai-ramai Naikkan Gaji Karyawan
Pengemudi truk, pengelola gudang logistik, sampai pegawai penginapan adalah sebagian pekerjaan yang disediakan pelatihannya oleh pemerintah. Tidak hanya gratis, sebagian program pendidikan vokasi malah menyediakan uang saku bagi peserta.
Para peserta pelatihan calon mekanik yang disediakan Kadin Jerman di Jepang mendapatkan uang saku dan biaya pendidikan. Mereka juga mendapatkan asrama selama proses pendidikan.
Masalahnya, jumlah peminat program vokasi juga terus menurun. Pada 2022, hanya 469.000 peserta program vokasi di Jerman. Pada 2011, jumlahnya hampir 600.000. ”Semakin sulit mencari peserta (pendidikan vokasi),” kata Ketua Asosiasi Industri Kimia (BAVC) Jerman Sebastian Kautzky.
Pekerja asing
Sementara untuk jalur perekrutan pekerja asing, Jerman terus mempermudah persyaratan. Sebagian pekerjaan tidak lagi memerlukan penyetaraan keterampilan sesuai standar Jerman.
Baca juga: Kunci Bekerja di Jerman, Kerja Sama Tim dan Jangan Pernah Takut Bertanya
Orang-orang dengan pengalaman kerja beberapa waktu, bisa langsung bekerja di Jerman. Kalau punya sertifikat kompetensi, bisa lebih mudah lagi mendapatkan pekerjaan. Bahkan, mereka tidak harus bisa berbahasa Jerman. Asalkan punya keterampilan sesuai yang dibutuhkan Jerman, bisa langsung bekerja.
Memang, ada syarat usia untuk warga asing yang mau jadi pekerja terampil di Jerman. Calon pekerja harus berusia maksimal 35 tahun dan punya pengalaman kerja sedikitnya dua tahun.
Peneliti Institute for Employment Research (IAB), Enzo Weber, menyebut, untuk saat ini Jerman bukannya kekurangan penduduk usia produktif. Seperti Jepang dan banyak negara, Jerman kekurangan orang yang mau bekerja di sektor yang butuh keterampilan fisik. Pemuda Jerman lebih suka bekerja kantoran.
Karena itu, pekerja migran diharapkan jadi solusi. Menurut IAB, Jerman akan butuh pekerja migran hingga 1,2 juta orang per tahun sampai 2060. Jika kurang dari itu, Jerman akan kekurangan pekerja terampil. (AFP/REUTERS)