Bukit-bukit Rwanda yang Menjadi Saksi
Rwanda bangkit dari tragedi genosida menjadi tujuan ekowisata dengan pertumbuhan tercepat di Afrika.
”
Rwanda telah bangkit dari kehancuran tragedi genosida, 30 tahun silam. Tiada lagi wajah suram di negeri itu, berganti keindahan. Wisatawan dunia dimanjakan oleh bersihnya kota dan wisata alam penuh pesona.
Dari udara tampaklah hamparan lembah kota Kigali berkelap-kelip menyambut ketibaan kami di Rwanda, Selasa (30/4/2024) dini hari. Setelah pesawat mendarat di Bandara Internasional Kigali, kami disambut layanan taksi untuk mengantarkan ke penginapan. Udara terasa sejuk di kota itu.
Menjelang pagi, gerimis turun beberapa saat. Tak lama hujan mereda, tampaklah burung-burung bermain-main pada dahan pohon. Suasana di bagian belakang balkon penginapan menjadi semarak. Kawanan burung dengan aneka warna itu seolah tak pedulikan sepasang mata yang mengagumi kehadiran mereka.
Persis dari balkon itu pula tampak bukit-bukit hijau di kejauhan. Bukit-bukit itu berbaris indah mengelilingi kota. Wajarlah Kigali dikenal sebagai ”Kota Seribu Bukit”.
Pesona lembah dan perbukitan kini menjadi andalan pariwisata Rwanda. Orang datang dan mengagumi wajah Kigali nan bersih yang membawa kota itu berjuluk kota terbersih di Afrika.
Wisatawan pun memilih Rwanda sebagai tujuan ekowisata karena beragam pilihan yang ditawarkan, mulai dari mendaki gunung, menikmati danau-danau indahnya, bercengkrama dengan gorila gunung, melihat rombongan gajah, hingga mengamati burung-burung.
Yang pasti, ekowisata Rwanda telah menyuntikkan 80 persen sumber pemasukan bagi negeri itu, membawa kekaguman akan ekonomi berkelanjutan di negeri yang terletak di bagian timur Afrika itu.
Baca juga: Di Rwanda, Komunitas Sains Dorong Kebijakan Berbasis Iptek
Banyak pula yang lantas bertanya, bagaimana negeri yang hancur akibat genosida pada 1994 dapat bangkit begitu cepat? Pembantaian pada warga minoritas etnis Tutsi telah mengorbankan 800.000 jiwa tewas hanya dalam rentang waktu 100 hari. Genosida berlanjut dengan beragam jenis kekerasan lain.
Namun, 30 tahun kemudian, Rwanda tampil sebagai negara yang dikenal dengan warganya yang ramah. Pariwisata mendongkrak pertumbuhan Rwanda tercepat di daratan itu, termasuk yang paling cepat pulih pascapandemi Covid-19.
Pariwisata berhasil menyumbang pertumbuhan dengan angka yang spektakuler. Sumbangannya melesat hingga mencapai 247 juta dollar AS pada semester I-2023. Nilai itu naik tajam dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022 sebesar 158 juta dollar AS (World Bank).
Sembari membawa saya berkeliling kota, pemandu wisata sekaligus pemilik usaha Fab Ecotour, Fabrice Mogabe, menceritakan kisah kebangkitan Rwanda. Kisah itu memang tak datang dengan serta-merta. Menurut Fabrice, butuh waktu untuk menata hati yang luka. Namun, masyarakat telah memutuskan mengubur rapat-rapat memori kelam itu.
Genosida sekaligus memberi pelajaran penting bagi Rwanda akan betapa berharganya hidup dalam persaudaraan. ”Kini, kami tak lagi menyebut apakah kami seorang Tutsi atau Hutu, tetapi kami adalah Rwanda,” katanya.
Hari itu, Fabrice bertekad membawa saya menjadi saksi perubahan besar Rwanda. ”Tetapi, pertama, saya harus membawamu ke Museum Kampanye Antigenosida,” katanya.
Ternyata, museum yang berada di Gedung Parlemen Rwanda itu cukup dekat dari penginapan. Hanya memakan waktu 15 menit berkendara.
Kini, kami tak lagi menyebut apakah kami seorang Tutsi atau Hutu, tetapi kami adalah Rwanda.
Setibanya di sana, Fabrice mempertemukan saya dengan Iteru untuk memandu kami menjelajahi museum. Sebelum bercerita, ia mengingatkan saya untuk tidak memotret selama berada di dalam ruangan. Meski dengan rasa berat, saya menurut saja.
Maka, dimulailah kisah kelam negeri itu. Iteru menjelaskan dengan runut perjalanan Rwanda yang semula hidup dalam damai lalu berubah menjadi neraka. Seiring hadirnya kolonial di negeri itu, pemisahan identitas berdasarkan perbedaan etnis dinyalakan. Kebencian pun dihidupkan bagi kelompok minoritas, yakni suku Tutsi dan Hwa.
Akhirnya, kebencian melahirkan pembantaian massal. Tragedi yang berlangsung 100 hari, mulai 7 April hingga 15 Juli 1994, menewaskan sekitar 800.000 jiwa. Itu berarti, dalam satu hari, 8.000 warga dibantai hingga tewas.
Iteru menunjukkan gambar-gambar di dinding ruangan yang menampakkan kengerian. Mulai dari potret pembantaian, korban-korban tewas di tanah, hingga darah dan tangis warga.
Baca juga: Ingatan Mencekam Genosida Rwanda 1994
Di tempat kami berdiri, kata Iteru, juga menjadi saksi bisu. Ribuan orang coba diselamatkan pasukan dalam gedung parlemen.
Untuk menguatkan peristiwa bersejarah itu, Iteru membawa kami naik ke atap gedung. Ia lantas menunjukkan bekas-bekas lubang menganga pada sisi samping gedung. ”Bekasnya masih sama. Sengaja dibiarkan agar menjadi penanda sejarah,” katanya.
Dari atap gedung, kami mendapatkan visual 360 derajat kota Kigali. Tampaklah hamparan gunung di hadapan kami, mulai dari Gunung Rebero hingga Gunung Kigali, lanjutnya, menjadi jalur evakuasi sebagian korban. Berhari-hari para korban berjuang untuk keluar dari Rwanda demi mencari perlindungan. Tak sedikit yang berakhir tewas di gunung-gunung itu.
Seluruh cerita yang disampaikan Iteru membawa saya tersadar akan terlukanya masyarakat Rwanda. Rasa yang sama saya dapatkan pada kunjungan berikutnya di Kigali Genocide Memorial yang menjadi tempat pemakaman bagi 250.000-an korban genosida.
Di tempat ini, suasana haru kian terasa. Apalagi, ada banyak warga berdatangan membawa karangan bunga. Semua disusun di sepanjang pemakaman massal itu. Warga menyematkan beragam pesan di atasnya. ”Tuzahora”, yang berarti kami akan selalu mengenang.
Ingatan masa lalu
Petugas setempat, Evelyn, menceritakan bahwa hari-hari ini, ingatan masyarakat Rwanda akan genosida kembali hadir. Masyarakat tengah mengenang tragedi kemanusiaan itu.
Selama sepekan penuh, 7 hingga 13 Mei, bunga-bunga ditebarkan di penjuru negeri itu, tak terkecuali di makam para korban. Di sana terpasang tulisan ”Ingatan 30 Tahun: Mengenang, Bersatu, Membangun Baru”. Kata-kata itu menyiratkan keiginan kuat masyarakat untuk menjalani lembaran baru. Satu kehidupan bersama yang damai, tanpa ada lagi pembedaan etnis.
Warga menggelar ibadah dan mendoakan para korban genosida. Berbagai tempat hiburan juga turut menghormati peringatan itu. ”Selama sepekan, tempat-tempat hiburan dilarang menyalakan musik keras-keras, bahkan sebagian sengaja tak beroperasi. Semua orang ikut mengenang dan mendoakan,” ujar Fabrice.
Perjalanan singkat ini membawa saya turut merasakan tekad besar Rwanda menata kembali diri. Mengubur dalam-dalam luka untuk cepat bangkit dari keterpurukan. Kebangkitan itu pun nyata di depan mata. Rwanda telah membangun citranya menjadi harum.
Di sepanjang perjalanan kami dalam kota Kigali, sampah tak terlihat. Bahkan, tak satu puntung rokok ataupun sebatang sedotan tampak tercecer di jalan.
Rasa penasaran membawa saya coba lebih jauh mengecek sudut-sudut jalanan. Termasuk gorong-gorong dan selokan, rupanya benar-benar bersih dari sampah. Bahkan, tak ada sisa lumpur mengendap di dasar selokan.
Pada hari itu, kantor-kantor libur dan toko-toko tutup. Warga khusus membersihkan lingkungan sekitarnya.
Direktur Proyek Kota-kota Pintar Kementerian Informasi, Komunikasi, Teknologi, dan Inovasi Rwanda Alice Higiro, yang ditemui Kompas dalam Konferensi The International Network for Government Science Advice (INGSA) 2024 di Kigali Convention Center, mengamini besarnya keinginan negeri itu bangkit dari keterpurukan. Pemerintah meyakini bahwa alam yang menjadi anugerah di negeri itu adalah jalannya. Maka, Rwanda coba mengelolanya dengan mengubah stempel negara itu bukan lagi sarang genosida, melainkan sumber keindahan, harmoni, dan persahabatan.
Baca juga: Diplomasi Sains Lahirkan Kota Pintar Berkelanjutan
Demi membangun kota yang nyaman huni, gerakan hemat sampah dibangun. Pemerintah memberlakukan ”Umuganda”, yakni hari libur nasional untuk bergotong royong. Hari libur ditetapkan tiap Sabtu terakhir pada setiap bulan. ”Pada hari itu, kantor-kantor libur dan toko-toko tutup. Warga khusus membersihkan lingkungan sekitarnya,” kata Alice.
Tak hanya itu, Rwanda menjadi negara pertama di kawasan Afrika yang mengusung undang-undang larangan penggunaan kantong plastik. Petugas di supermarket akan menyediakan kantong kertas untuk pembungkus belanjaan. ”Kami pun terbiasa tak membuang sampah. Bahkan, bungkus permen yang kecil pun akan kami kantongi kalau tidak ada tempat sampah,” kata Fabrice.
Akhirnya bukit-bukit yang berbaris indah itu menjadi saksi. Takkan ada lagi tangis dan darah selain pesona alam dan hangatnya persaudaraan.